SMS Terbuka Ke-tiga
Masalah Teroris
Kamis Malam,1-9-2016
Dari:
Masalah Teroris
Kamis Malam,1-9-2016
Dari:
Mr.Thinker Hasibuan
Untuk:
Presiden Joko Widodo,
Tentang:
Menyikapi Berita Dibawah:
Polisi Ingin Ada Pasal yang Bisa Pidanakan Aksi Praterorisme
(Kapolri Jenderal Tito Karnavian)
&
Jangan Kucilkan Mantan Teroris
(Ali Imron, mantan kelompok teroris jaringan Bom Bali)
Ass. Wr. Wb.
Kepada Yth.
Bapak Presiden Joko Widodo,
Alm. Raja ABDULLAH Bin ABDUL-'AZIZ
(Raja Arab Saudi Sebelum Yang Sekarang ini)
Pernah Berkata Dengan Rendah Hati:
Pernah Berkata Dengan Rendah Hati:
"Saya Tidak Mugkin Jadi Raja
Tanpa Adanya Rakyat Saya".
Tanpa Adanya Rakyat Saya".
Maka Mr.Thinker Kata Rayyan Berkata:
Kapolri Jenderal Tito Karnavian & Ali Imron, Mantan Kelompok Teroris Jaringan Bom Bali Adalah: Rakyat Presiden Joko Widodo Yang Berlainan Profesinya, Karena Selain Presiden Dan Wakil Presiden Semua Pada Dasarnya Adalah Rakyat.
Kapolri Jenderal Tito Karnavian & Ali Imron, Mantan Kelompok Teroris Jaringan Bom Bali Adalah: Rakyat Presiden Joko Widodo Yang Berlainan Profesinya, Karena Selain Presiden Dan Wakil Presiden Semua Pada Dasarnya Adalah Rakyat.
Ijin Himbauan Kepada Presiden Joko Widodo,
So ..., Idzan ..., Kalau Begitu ..., Presiden Joko Widodo Harus Adil Dan Bijaksana Serta Memahami Dalam Menyikapi Masalah Apa Saja Yang Ada Pada Rakyat Beliau, Jangan Sampai Hanya Memandang Pada Sebelah Mata Saja Walaupun Mereka / Dia Itu Teroris, Narkoba, Dan Koruptor Yang Merupakan Tiga Musuh Besar Bangsa Dan Negara.
Kalau Ada Prateroris Sudah Di-Pidana-kan, Itu Berarti: Pelanggaran HAM Dan Kembali Ke Masa Orde Baru Yang Teror-nya Justru Bertubi-tubi Pada Saat Itu Dibandingkan Era Reformasi Sekarang Ini.
Sebaliknya Menurut Mr.Thinker Yang Telah Banyak Bergelimang Dan Makan Asam Garam Dalam Dunia Da'wah Dan Kemasyarakatan Baik Dalam Maupun Luar Negeri:
1. Pemerintah Joko Widodo Sebagai Bapak Bangsa Harus Bijaksana Dalam Menyikapi Keluhan Dan Kenakalan Anak Bangsa, Sebagaimana Orang Tua Harus Bijaksana Dalam Menyikapi Keluhan Dan Kenakalan Sang Anak Dalam Satu Keluarga (Contoh: Memaafkan Dan Tidak Bertindak Keras Terhadap Anak, Sebab Jika Anak Dikerasin Malah Semakin Nakal),
2. Amnesty / Pengampunan / Pemaafan Bukan Hanya Ada Pada Tax Amnesty Saja, Tapi Harus Ada Juga Amnesty Pada Teroris Dan Narkoba Yang Ingin Tobat Dan Kembali Kemasyarakat Atau Kepangkuan Ibu Pertiwi Sebelum Ketangkap Aparat Pemerintah,
Sepertinya Hal Diatas (No.1 & 2) Pernah Mr.Thinker Sampaikan Pada SMS Sebelum Ini Secara Terpisah, Tapi Karena Hal Ini Sangat Penting Dalam Hubungan Intim Antara Sang Bapak Dan Sang Anak, Maka Tidak Ada Salahnya Kalau Mr.Thinker Ingatkan Kembali.
3. Benar Apa Kata Ali Imran, Mantan Teroris Jaringan Bom Bali Yang Sama Sekali Mr.Thinker Belum Pernah Berjumpa Dengannya Dkknya, Berkata Ketika Dia Berada Di Gedung DPR. Jakarta Pada Hari Kamis, 25 Agustus 2016: Mengingatkan Pemerintah Dan Publik Untuk Tidak Mengucilkan Para Mantan Teroris Ketika Keluar Dari Tahanan / Penjara, Dia Khawatir Pengucilan Yang Dilakukan Oleh Masyarakat Akan Berdampak Tidak Baik Untuk Para Mantan Teroris, Karena Mungkin Ada Beberapa Mantan Teroris Yang Masih Radikal Justru Memanfaatkan Kondisi Rekannya Yang Dikucilkan Itu.
Sehingga Mr.Thinker Kata Rayyan Berkata Dalam Misinya:
"Thinker For Solution","Solution For The Nation And State" /
"Pemikir Untuk Solusi","Solusi Untuk Bangsa Dan Negara".
(Written By: Ust.H.Rayyan Syahrial Hasibuan
Si Mr.Thinker Hasibuan)
Visi:
"Religious Thinker, The Nation And State" /
"Pemikir Agama, Bangsa Dan Negara"
HP. Private Number:
0812 1545 2500
E-mail:
rayyan.syahrial@gmail.com
Website/Blog:
ust-rayyan.blogspot.co.id
www.ust-rayyan.blogspot.com
http://ust-rayyan.blogspot.com
NASIONAL
Polisi Ingin Ada Pasal yang Bisa Pidanakan Aksi Praterorisme
Undang-undang hanya bisa membatasi pada tindakan terorisme.
Kamis, 1 September 2016 | 05:20 WIB
Kapolri Jenderal Tito Karnavian (VIVA.co.id/Lilis Khalisotussurur)
VIVA.co.id – Kapolri Jenderal Tito Karnavian menilai salah satu kelemahan dalam penanganan kasus terorisme adalah lemahnya undang-undang yang ada di Indonesia. Selama ini, undang-undang hanya bisa membatasi pada tindakan terorisme, namun tidak bisa menyentuh upaya sebelum aksi terorisme terjadi.
Atas itu, polisi ingin ada undang-undang yang mengatur agar aksi praterorisme dapat dijerat. Sehingga bisa meminimalisir peluang aksi teror di Indonesia.
"Operasi terorisme ini hanya puncaknya saja. Ada kegiatan-kegiatan awal yang sebetulnya bisa kita cegah. Kalau kita bisa membuat pasal-pasal mengenai peristiwa awal, maka kita bisa mendahului mereka," kata Tito di DPR, Jakarta, Rabu 31 Agustus 2016.
Baca Juga:
- Bocornya Rencana Bom Bali III
- Pelaku Teror Gereja Medan Belajar Bikin Bom dari Internet
- Indonesia Akan Bentuk Satgas Penanganan Terorisme Baru
Ia mencontohkan misalnya provokasi yang bersifat kebencian pada yang bisa mengarah pada terorisme, dalam undang-undang (UU) belum ada pasal yang bisa mengkriminalisasinya.
"Kemudian misalnya pelatihan dalam rangka untuk melakukan aksi terorisme. Itu tidak dikriminalisasi. Sekarang mereka latihan menggunakan air soft gun, senjata kayu, tapi itu dalam rangka menuju amaliyah (sebutan aksi pengeboman atau mati syahid bagi teroris)," kata Tito.
Lalu, ia mencontohkan di luar negeri, penegak hukum membuat daftar atau menginvetarisir teroris. Sehingga ketika ada orang yang bergabung dengan kelompok tersebut bisa dipidana. Aturan ini juga belum diatur dalam UU di Indonesia.
"Sehingga ketika mereka bergabung dengan Jamaah Islamiyah (JI), dalam beberapa kasus terorisme semua menyebut JI. Sehingga siapa pun yang bergabung dengan kelompok itu, selama tak melakukan aksi, tak bisa kita pidana," kata Tito.
Menurutnya, kalau UU mengatur agar bisa melarang kelompok-kelompok sebagai teroris maka penegak hukum hanya cukup membuktikan orang bersangkutan sudah bergabung dengan kelompok tersebut.
"Mungkin dengan kartu, dokumen, atau perbuatan. Maka kita sudah bisa mencegah aksi terorisme, tak perlu menunggu sampai terjadi. Misal kalau ada yang bergabung dengan ISIS, susah kita membuktikannya. Karena di sini tidak dianggap sebagai kelompok teror," kata Tito.
ISIS memang di PBB dianggap kelompok teror menurut Tito. Tapi belum diratifikasi dalam UU di Indonesia. Sehingga sulit untuk mempidanakan mereka yang berada di Indonesia ketika bergabung dengan ISIS.
"Akhirnya dicoba pasal lain yaitu orang yang melakukan perlawanan, pemberontakan pada negara sahabat. Itu susah kita buktikan juga. Pemberontakannya harus kita buktikan, itu KUHP. Sehingga mereka gabung berangkat ke ISIS kembali, pemahamannya mungkin bisa jadi sangat radikal," kata Tito.
Menurutnya, mereka yang keluar negeri misalnya bergabung ke ISIS, lalu kembali membawa paham baru bisa menjadi ancaman baru. Sekarang sudah mencapai 500 orang lebih yang berangkat bergabung ke ISIS. Kalau mereka kembali, bisa menjadi ancaman.
"Kalau tak kembali jadi masalah juga. Karena ada 3 orang yang terjadi 2015 hingga 2016 terkait dengan ISIS melibatkan perantara yaitu Bahrun Naim dan Abu Jandam. Mereka berikan uang dan berikan instruksi. Semua berasal dari sana," kata Tito.
Indonesia Akan Bentuk Satgas Penanganan Terorisme Baru
NASIONAL
Jangan Kucilkan Mantan Teroris
Mantan teroris yang dikucilkan akan dimanfaatkan teroris radikal
Kamis, 25 Agustus 2016 | 18:46 WIB
Ali Imron, terpidana Bom Bali (Reuters)
Para hakim selama ini belum tentu memahami jaringan terorisme.
Kamis, 1 September 2016 | 07:43 WIB
Kapolri Jenderal Tito Karnavian (REUTERS/Tom Heneghan)
VIVA.co.id – Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengusulkan agar dibuat peradilan khusus pelaku terorisme. Tujuannya agar para hakim dapat memahami sebuah tindakan terorisme satu dan lainnya memiliki keterkaitan.
"Seperti di Prancis. Tapi di Prancis mereka tak mengadili petugas karena langgar HAM. Yang diadili hanya pelaku teror saja," kata Tito di DPR, Jakarta, Rabu 31 Agustus 2016.
Ia mencontohkan hakim yang mengadili tindak pidana terorisme di Poso bisa jadi tak mengerti tindakan tersebut ada kaitannya dengan di Solo.
"Ini yang membuat dasar di Prancis membuat hakim khusus untuk pengadilan terorisme, untuk paham jaringan ini. Masalah kita, hakim belum tentu paham jaringan terorisme," kata Tito.
Menurutnya, untuk tingkat penegak hukum di Indonesia mulai dari penyidikan, penuntutan, hingga peradilan seharusnya memiliki pemahaman mengenai jaringan ini.
"Kalau tak punya pemahaman tersebut, repot menghubungan jaringan satu dengan lainnya. Untuk penyidik, kita punya penyidik yang paham jaringan ini, densus 88. Bom kemarin, dalam hitungan detik bisa diketahui ada kaitan dengan siapa," kata Tito.
Menurutnya, densus memiliki database jaringan terorisme sejak 2002 paska peristiwa bom Bali. Begitu pun di kejaksaan sudah ada satgas khusus yang memahami jaringan ini.
(ren)
NASIONAL
Polisi Ingin Ada Pasal yang Bisa Pidanakan Aksi Praterorisme
Undang-undang hanya bisa membatasi pada tindakan terorisme.
Kamis, 1 September 2016 | 05:20 WIB
Kapolri Jenderal Tito Karnavian (VIVA.co.id/Lilis Khalisotussurur)
VIVA.co.id – Kapolri Jenderal Tito Karnavian menilai salah satu kelemahan dalam penanganan kasus terorisme adalah lemahnya undang-undang yang ada di Indonesia. Selama ini, undang-undang hanya bisa membatasi pada tindakan terorisme, namun tidak bisa menyentuh upaya sebelum aksi terorisme terjadi.
Atas itu, polisi ingin ada undang-undang yang mengatur agar aksi praterorisme dapat dijerat. Sehingga bisa meminimalisir peluang aksi teror di Indonesia.
"Operasi terorisme ini hanya puncaknya saja. Ada kegiatan-kegiatan awal yang sebetulnya bisa kita cegah. Kalau kita bisa membuat pasal-pasal mengenai peristiwa awal, maka kita bisa mendahului mereka," kata Tito di DPR, Jakarta, Rabu 31 Agustus 2016.
Baca Juga:
- Bocornya Rencana Bom Bali III
- Pelaku Teror Gereja Medan Belajar Bikin Bom dari Internet
- Indonesia Akan Bentuk Satgas Penanganan Terorisme Baru
Ia mencontohkan misalnya provokasi yang bersifat kebencian pada yang bisa mengarah pada terorisme, dalam undang-undang (UU) belum ada pasal yang bisa mengkriminalisasinya.
"Kemudian misalnya pelatihan dalam rangka untuk melakukan aksi terorisme. Itu tidak dikriminalisasi. Sekarang mereka latihan menggunakan air soft gun, senjata kayu, tapi itu dalam rangka menuju amaliyah (sebutan aksi pengeboman atau mati syahid bagi teroris)," kata Tito.
Lalu, ia mencontohkan di luar negeri, penegak hukum membuat daftar atau menginvetarisir teroris. Sehingga ketika ada orang yang bergabung dengan kelompok tersebut bisa dipidana. Aturan ini juga belum diatur dalam UU di Indonesia.
"Sehingga ketika mereka bergabung dengan Jamaah Islamiyah (JI), dalam beberapa kasus terorisme semua menyebut JI. Sehingga siapa pun yang bergabung dengan kelompok itu, selama tak melakukan aksi, tak bisa kita pidana," kata Tito.
Menurutnya, kalau UU mengatur agar bisa melarang kelompok-kelompok sebagai teroris maka penegak hukum hanya cukup membuktikan orang bersangkutan sudah bergabung dengan kelompok tersebut.
"Mungkin dengan kartu, dokumen, atau perbuatan. Maka kita sudah bisa mencegah aksi terorisme, tak perlu menunggu sampai terjadi. Misal kalau ada yang bergabung dengan ISIS, susah kita membuktikannya. Karena di sini tidak dianggap sebagai kelompok teror," kata Tito.
ISIS memang di PBB dianggap kelompok teror menurut Tito. Tapi belum diratifikasi dalam UU di Indonesia. Sehingga sulit untuk mempidanakan mereka yang berada di Indonesia ketika bergabung dengan ISIS.
"Akhirnya dicoba pasal lain yaitu orang yang melakukan perlawanan, pemberontakan pada negara sahabat. Itu susah kita buktikan juga. Pemberontakannya harus kita buktikan, itu KUHP. Sehingga mereka gabung berangkat ke ISIS kembali, pemahamannya mungkin bisa jadi sangat radikal," kata Tito.
Menurutnya, mereka yang keluar negeri misalnya bergabung ke ISIS, lalu kembali membawa paham baru bisa menjadi ancaman baru. Sekarang sudah mencapai 500 orang lebih yang berangkat bergabung ke ISIS. Kalau mereka kembali, bisa menjadi ancaman.
"Kalau tak kembali jadi masalah juga. Karena ada 3 orang yang terjadi 2015 hingga 2016 terkait dengan ISIS melibatkan perantara yaitu Bahrun Naim dan Abu Jandam. Mereka berikan uang dan berikan instruksi. Semua berasal dari sana," kata Tito.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar