Kamis, 17 Agustus 2017

Kisah Para Pahlawan Muslim

Reporter : Syahid Latif | Senin, 10 November 2014 18:39
Pertempuran 10 November 1945
Perang mempertahankan kemerdekaan di Surabaya itu dikibarkan tokoh NU. Inilah peran tokoh-tokoh Islam dalam kemerdekaan.
Dream - Hari beranjak larut. Tapi kehidupan di Tugu Pahlawan itu masih berdenyut. Lampu masih terang benderang. Mobil dan motor juga ramai melaju. Kawasan yang meriah di siang hari itu seperti enggan terlelap.
    
Tapi tunggulah sebentar. Keriuhan itu akan segera pergi. Pukul 11 malam kawasan itu seperti sedang mengaso. Suasana menjadi gelap, sebab lampu sekitar Tugu itu dimatikan. Selama dua jam kawasan itu berhening dalam diam.

Tugu setinggi 41,15 meter itu berbentuk lingga, seperti sebuah paku yang terbalik. Didirikan demi mengenang jasa para pahlawan yang bertaruh nyawa mempertahankan kemerdekaan, 10 November 1945. Ribuan orang mati di situ, dihujani peluru kumpeni.

Warga di sekitar situ mengenang jasa para pahlawan ini dengan banyak cara. Salah satunya mematikan lampu selama dua jam itu. " Hampir setiap tahun listrik selalu mati pada tengah malam itu," ujar Tara, gadis cantik yang telah lama menjadi warga Surabaya saat berbincang dengan Dream.co.id.

Bagi Tara, Hari Pahlawan yang jatuh pada 10 November itu sarat dengan pesan. Kegelapan itu adalah pesan betapa susahnya kemerdekaan itu diraih dan juga dipertahankan. Meski susah semangat harus dinyalakan. Dan arek-arek Surabaya sudah membuktikannya.

*****

Perang di Surabaya itu adalah salah satu titik terpenting dalam sejarah mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Perang ini melibatkan seluruh lapisan. Para pemuda dari berbagai daerah dan warga Surabaya bahu membahu menghadapi pasukan asing yang bersenjata lengkap.

Adalah KH Hasyim Asy'ari, seorang ulama besar Nadhatul Ulama (NU), yang mengibarkan perang fisabillah. Seruan berperang lewat Resolusi Jihad di kalangan warga NU adalah hulu dari segenap semangat itu. Dan itu memang dirancang secara matang.

Jauh sebelum pecah perang besar 10 November itu,  Pengurus Besar NU telah mengeluarkan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945. Pesan sakral itu dikumandangkan demi menyikapi kembalinya kumpeni Belanda, yang menumpang di punggung NICA.

Kecurigaan masyarakat Surabaya sesungguhnya muncul awal Oktober 1945. Tentara Jepang di Semarang dan Bandung merebut kembali Semarang dan Bandung yang telah jatuh ke tangan Indonesia. Kedua kota ini lalu diserahkan kepada Inggris.

Atas langkah sepihak itu, pemerintah Indonesia masih bisa menahan diri. Jalur diplomasi dipilih sebagai penyelesaian perselisihan itu. Tapi, kesabaran bangsa Indonesia kembali diuji ketika bendera Merah, Putih, Biru, bendera Belanda, kembali berkibar di Jakarta. Pada tanah di mana kemerdekaan diproklamirkan 17 Agustus 1945.

Kesabaran pemimpin Indonesia, termasuk para ulama NU sudah sampai di titik nadir. Suasana di sejumlah kota, termasuk Surabaya makin memanas. Insiden-insiden kecil mewarnai proses pengalihan kekuasaan diam-diam ini.

Warga Surabaya sayup-sayup mulai mendengar kabar mendaratnya Sekutu yang diboncengi tentara NICA di tanah mereka. Pidato-pidato Bung Tomo lewat Radio Pemberontakan mulai bergelora. Semangat melawan kian mendidih.

PBNU pun mengundang konsul-konsul NU di seluruh Jawa dan Madura agar hadir pada  21 Oktober 1945 di kantor PB ANO di Jl Bubutan VI/2 Surabaya.  Pertemuan malam hari pada 22 Oktober 1945 itu langsung dihadiri Rais Akbar NU, KH Hasyim Asy’ari.

Amanat berupa pokok-pokok kaidah tentang kewajiban umat Islam, pria maupun wanita, dalam jihad mempertahankan tanah air dan bangsanya dibahas malam itu.

Rapat PBNU yang dipimpin Ketua Besar KH Abdul Wahab Hasbullah itu pun berakhir. Satu keputusan sudah diambil. Inilah pertama kalinya “ Resolusi Jihad Fii Sabilillah” lahir dari kalangan NU untuk melawan tindakan Sekutu.

“ Berperang menolak dan melawan pendjadjah itoe Fardloe ‘ain (jang haroes dikerdjakan oleh tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempoean, anak-anak, bersendjata ataoe tidak) bagi jang berada dalam djarak lingkaran 94 km dari tempat masoek dan kedoedoekan moesoeh. Bagi orang-orang jang berada di loear djarak lingkaran tadi, kewadjiban itu djadi fardloe kifajah (jang tjoekoep, kalaoe dikerdjakan sebagian sadja…” begitu bunyi resolusi tersebut seperti dikutip dari laman khagussunyoto.blogspot.com .

Amarah yang telah lama ditahan umat muslim Surabaya dan Jawa Timur akhirnya pecah. Seruan Jihad utama  membela Indonesia membakar semangat penduduk Surabaya. Pilihan mati dengan imbalan surga telah melayang dalam benak setiap orang.

Pekik Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar dari Bung Tomo lewat corong radio Radio Pemberontakan semakin mengobarkan semangat juang. Hingga akhirnya perang fii sabilillah selama tiga hari berturut-turut. Tanpa kenal lelah, para pejuang angkat senjata sejak 27 hingga 29 Oktober 1945.

Brigade ke-49 Mahratta pimpinan Brigadir Jenderal Aulbertin Walter Sothern Mallaby harus menghadapi semangat yang tak terbayangkan ini. Kekuatan senjata tak mampu jadi pelindung. Lebih dari 2.000 orang pasukan kebanggaan Inggris tewas. Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby ikut meregang nyawa akibat dilempar granat.

*****

Kabar kematian Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby memancing kemarahan Inggris. Peristiwa 9 November 1945 takkan hilang dari benak masyarakat Surabaya. Tiga pesawat bomber yang melayang-layang di atas langit Surabaya memicu penistaan harga diri bangsa Indonesia.

Bukan pesawat yang membuat marah rakyat Surabaya. Namun ucapan Mayor Jenderal EC Mansergh, Komando Angkatan Darat  Sekutu Jawa Timur lewat pamflet-pamfletlah pemicunya.

Sekutu dengan angkuhnya meminta bangsa Indonesia di Surabaya menyerah. Fitnah ketidakjujuran  masyarakat Surabaya dengan menyerang angkatan Perang Inggris dijadikan alasan.

Inggris mungkin pantas naik pitam. Semangat perang di jalan Allah telah membunuh ratusan prajuritnya. Bahkan, pucuk pimpinan Brigadir Jenderal Mallaby tewas oleh granat tangan para pejuang.

" Kesalahan-kesalahan tersebut di atas tak dapat dibiarkan begitu saja. Berdasarkan ini, saya mengeluarkan perintah yang harus dapat dilaksanakan," kata AC Mansergh dalam pamfletnya tersebut.

Para pejuang diminta untuk menyerahkan tawanan pada 9 November 1945 pukul 18.00 WIB. Jika tak dilaksanakan, AC Manserg siap mengerahkan semua kesatuan angkatan laut, darat dan udara. Waktu serbuan sudah ditetapkan. Pada 10 November 1945 pukul 06.00 WIB.

" Mereka bertanggung-jawab atas pertumpahan darah yang tak dapat dihindarkan," kilah EC Mansergh.

*****

Ultimatum EC Mansergh semakin memancing amarah arek-arek Suroboyo. Ancaman ini dianggap merendahkan martabat bangsa Indonesia. Tak ada kata lain selain melawan.

Hinaan jenderal sekutu ditanggapi tak jauh lebih keras oleh KH Hasyim Asy’ari yang saat itu berada di Surabaya. Kakek mantan presiden Abdurrahman Wahid ini memutuskan mengubah Resolusi Jihad 22 Oktober 1945. Seruan jihad yang membunuh Bigjend Mallaby ini dibuat lebih operasional.

“ Bagi tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempoean, anak-anak (bersenjata ataoe tidak) yang berada dalam djarak lingkaran 94 km dari Soerabaja, Fardloe ‘Ain hukumnya untuk berperang  melawan moesoeh oentoek membela Soerabaja,” begitu itu resolusi jihad terbaru itu.

Tak butuh waktu lama, seruan jihad KH Hasyim Asy’ari menyebar luas ke berbagai daerah diluar Surabaya. Penduduk Mojokerto, Lamongan, Tuban, Pasuruan, Jombang, Malang, Banyuwangi, hingga Cirebon siap angkat senjata.

Di bawah arahan para kyai, santri, satuan-satuan dari barisan Hizbullah dan Sabilillah berbondong-bondong menuju Surabaya.

Masa yang tersulut bayang-bayang Mati Syahid ini bergabung dengan pasukan TKR Kota Surabaya, PRI, BPRI, TKR Laut, TKR Pelajar, Polisi Istimewa, Barisan Buruh, dan warga Kota Surabaya. Tujuannya satu, menyambut serangan umum pasukan Inggris di bawah Mayor Jenderal E.C.Mansergh pada 10 November 1945. Pekik takbir kembali bergema.

Bayang-bayang Inggris yang akan menemukan rakyat Surabaya tunduk menyerah dalam tempo tiga hari sirna. Serangan bombardir dari darat, laut dan udara tak cukup untuk memupus semangat mati syahid.

Inggris harus menghadap peristiwa yang takkan pernah dilupakannya. Kota Surabaya tak mudah tunduk. Perjuangan tiga bulan harus dilalui. Kobaran jihad di jalan Allah meski harus bersimbah darah dan airmata tak begitu saja bisa dipadamkan.

Meski akhirnya takluk, Inggris takkan pernah melupakan pengalaman perang seperti di Surabaya. Pertempuan pertama kali dan terakhir melawan semangat jihad begitu membekas di benak tentara Inggris.

Tara dan penduduk Surabaya mungkin hanya merasakan padamnya lampu selama dua jam. Meski sesaat, gelapnya malam ini menjadi pengingat besarnya semangat perjuangan resolusi jihad arek-arek Suroboyo.
















































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































































Tidak ada komentar:

Posting Komentar