VIVA.co.id – Raja
Arab Saudi, Salman bin Abdulaziz al-Saud mengumumkan putusan yang
mengejutkan, yakni pemotongan gaji bagi menteri kabinetnya. Langkah ini
diambil sebagai antisipasi terhadap penurunan pendapatan negara dari
minyak.
Tapi, tidak disebutkan angka pasti berapa jumlah uang yang mesti diselamatkan untuk negara.
“Sejak 2014 harga minyak dunia telah runtuh, lebih dari setengah harga,
dan meninggalkan Arab Saudi dengan rekor defisit anggaran pada tahun
lalu,” tulis dekrit kerajaan.
Dilansir dari Emirates, Sabtu, 1 Oktober 2016, disebutkan, Raja
Salman menetapkan memotong gaji menteri sebesar 20 persen. Kemudian
ketetapan untuk 160 anggota Dewan Syura adalah penurunan tunjangan
tahunan untuk perumahan, furniture dan mobil sebesar 15 persen.
Selain itu, ketetapan penghematan pengeluaran negeri teluk ini ialah
tidak ada lagi penyediaan mobil untuk pejabat senior negara. Pembekuan
uang dinas dan pembatasan uang lembur bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Pada April lalu, putra raja, Deputi Putra Mahkota Mohammed bin Salman,
mengumumkan visi negara hingga 2030 dengan rencana diversifikasi
ekonomi. Visi 2030 bertujuan untuk meningkatkan lapangan kerja sektor
swasta, memotong gaji pemerintah 40 persen dari anggaran.
===========================================
POLITIK
Ahli Hukum: Tak Etis Jika Setya Novanto Jadi Ketua DPR Lagi
"Secara hukum saya bilang tak ada masalah."
Sabtu, 1 Oktober 2016 | 14:16 WIB
Oleh :
Dusep Malik, Fikri Halim
Refly Harun. (Istimewa)
VIVA.co.id – Belakangan
ini, kembali beredar kabar kemungkinan diangkatnya kembali Setya
Novanto menjabat sebagai Ketua Dewan Perwakilan Rakyat RI menggantikan
Ade Komarudin. Hal ini dinilai sah-sah saja secara hukum jika
Setya terbukti tak bersalah dalam kasus ‘papa minta saham’ yang
menjeratnya beberapa waktu lalu.
Hal tersebut, diungkapkan Ahli Hukum Tata Negara, Refly Harun usai
acara diskusi di Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu, 1 Oktober 2016.
Dia mengungkapkan, jika Setya tak terbukti secara hukum maka bisa
saja menjadi Ketua DPR, apalagi dia saat ini menjabat sebagai Ketua Umum
Partai Golkar. Namun, bila melihat itu secara kacamata politik dan etik
tentu tidak etis jika Setya diangkat kembali menjadi Ketua DPR.
"Secara hukum saya bilang tak ada masalah cuma mungkin dari sisi
politik dan etik. Kalau dari etik apakah etis seorang yang mundur,
tiba-tiba maju lagi hanya karena ketua DPR itu hak politik dan karena
sebagai ketua parpol bisa ajukan penggantian untuk dirinya sendiri,
secara etik itu agak kurang etis jadinya," kata Refly.
Menurutnya, secara hukum positif dan politik, fungsi ketua DPR itu
saat ini merupakan milik partai Golkar. Karena, lanjut dia, saat ketua
DPR mundur dan ada pemilihan maka dalam Undang-undang mengatakan bahwa
hal itu merupakan ‘jatah’ Golkar, sama ketika Setya mundur kemudian
digantikan Ade Komarudin.
"Karena kita tahu bahwa ketua dan paket pimpinan kan dipilih, bukan
ditetapkan. Beda sama Marzuki Ali. Kalau Marzuki kan tidak dipilih,
karena Demokrat partai pemenang, dia langsung jadi ketua, kalau ini
dipilih," ungkapnya.
Dengan adanya kemungkinan rehabilitasi dan proses lainnya, ia
mengakui Setya bisa menjadi ketua DPR lagi. Namun, ditegaskannya,
lagi-lagi hal itu merupakan tindakan yang tidak etis.
"Dari sisi politik, perhitungannya adalah soal sejauh mana tindakan
ini akan merugikan Golkar atau tidak, kalau saya lihat konstelasi
terbaru, menurut saya memang dukungan partai lain akan besar, namun
justru konflik internal Golkar yang akan meruncing," ujarnya.
#
Tidak ada komentar:
Posting Komentar