POLITIK
Kapolri Ungkapkan Pola Radikalisasi Melalui Internet
Langkah pencegahan penyebaran, dinilai Tito, menjadi penting.
Rabu, 31 Agustus 2016 | 15:43 WIB
Kapolri Jenderal Tito Karnavian (VIVA/Syaefullah)
VIVA.co.id –
Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian menjelaskan relasi perkembangan
teknologi informatika dengan aksi terorisme. Dalam rapat bersama Panitia
Khusus (Pansus) Rancangan Undang Undang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme, Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Tito mengatakan
bahwa internet digunakan oleh jaringan teroris memberikan online training
'pelatihan daring'. Dengan demikian, bisa ditonton para simpatisan yang
bisa memengaruhi mereka untuk merakit bahan peledak dan melakukan aksi
teror.
"Sehingga sangat mungkin anak-anak muda menjadi target dengan menonton internet. Jadi ada radikalisasi melalui internet. Lalu ada online training, makanya bom tak meledak sempurna," kata Tito di Gedung DPR, Jakarta, Rabu 31 Agustus 2016. Dia merujuk pada aksi bom bunuh diri yang coba dijalankan seorang remaja di Gereja Santo Yosep di Medan akhir pekan lalu. Beruntung, aksi itu gagal dan pelaku dapat diringkus.
Hal tersebut yang menurutnya menjadi penyebab adanya ledakan tidak sempurna dari bahan peledak yang dibawa oleh para pelaku teroris antara lain pada saat bom Thamrin, bom di Polres Surakarta dan terakhir aksi teror di gereja Santo Yosep di Medan.
"Ada teroris yang berkelompok seperti di Thamrin dan bom Bali. Tapi ada juga yang sendiri. Biasanya disebut sebagai serigala sendiri karena serigala biasa berkelompok tapi yang mencari makan sendiri disebut serigala sendiri," kata Tito soal fenomena teroris yang belakangan ini melakukan aksinya sendirian.
Bahkan kata dia, secara langsung memang tak ada hubungan antara pelaku teror "serigala sendiri" dengan jaringan terorisme yang sudah eksis selama ini.
Hanya Tito melanjutkan, teroris dengan senjata api yang mapan dan memiliki jaringan memang masih jauh lebih berbahaya dibandingkan teroris yang beraksi ala serigala sendiri. Oleh karena itu dia mengingatkan perlunya pencegahan penyebaran paham terorisme melalui internet.
"Jadi dalam Undang Undang ini kami juga fokus pada pencegahan radikalisasi sendiri. Strateginya memang pencegahan terutama untuk menghambat penyebaran ideologi," kata Tito. (ren)
"Sehingga sangat mungkin anak-anak muda menjadi target dengan menonton internet. Jadi ada radikalisasi melalui internet. Lalu ada online training, makanya bom tak meledak sempurna," kata Tito di Gedung DPR, Jakarta, Rabu 31 Agustus 2016. Dia merujuk pada aksi bom bunuh diri yang coba dijalankan seorang remaja di Gereja Santo Yosep di Medan akhir pekan lalu. Beruntung, aksi itu gagal dan pelaku dapat diringkus.
Hal tersebut yang menurutnya menjadi penyebab adanya ledakan tidak sempurna dari bahan peledak yang dibawa oleh para pelaku teroris antara lain pada saat bom Thamrin, bom di Polres Surakarta dan terakhir aksi teror di gereja Santo Yosep di Medan.
"Ada teroris yang berkelompok seperti di Thamrin dan bom Bali. Tapi ada juga yang sendiri. Biasanya disebut sebagai serigala sendiri karena serigala biasa berkelompok tapi yang mencari makan sendiri disebut serigala sendiri," kata Tito soal fenomena teroris yang belakangan ini melakukan aksinya sendirian.
Bahkan kata dia, secara langsung memang tak ada hubungan antara pelaku teror "serigala sendiri" dengan jaringan terorisme yang sudah eksis selama ini.
Hanya Tito melanjutkan, teroris dengan senjata api yang mapan dan memiliki jaringan memang masih jauh lebih berbahaya dibandingkan teroris yang beraksi ala serigala sendiri. Oleh karena itu dia mengingatkan perlunya pencegahan penyebaran paham terorisme melalui internet.
"Jadi dalam Undang Undang ini kami juga fokus pada pencegahan radikalisasi sendiri. Strateginya memang pencegahan terutama untuk menghambat penyebaran ideologi," kata Tito. (ren)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar