Kamis, 11 Agustus 2016

11-8-16'

Presiden Minta Kesaksian Freddy Budiman Diungkap

Jokowi minta tim investigasi mengungkap pihak yang disebut Freddy.

Mr.Thinker Hasibuan: "Walaupun banyak embel-embel untuk meng-kanter (counter=melawan) Berita KontraS Haris Azhar Dalam Tulisannya Yang Diungkap Melalui Media Sosial,  

Seperti Kanteran: 
-Mantan Deputi Bidang Pemberantasan BNN Irjen (Purn) Benny Mamoto, 
-Kadivhumas Polri Irjen Pol Boy Rafli Amar,
-Dll Kanteran Dari Publik,

Tapi Kalau Presiden Joko Widodo Sudah Menyatakan (dibawah ini), Ini Perintah Dan Harus Dilaksanakan Dengan Amanah, Karena Mr.Thinker Hasibuan Yakin Bahwa: Presiden Joko Widodo Itu Orang Cerdas Dan "INSYA ALLOH" Akan Terbongkar Semua Kasus Kalau Dilaksanakan Dengan Amanah, Tegas, Tuntas Dan Profesional Dalam Bekerja:

8 (Delapan) Pernyataan Presiden Joko Widodo Untuk Kasus Yang Disampaikan Koordinator KontraS Haris Azhar Pada Tulisannya Yang Diungkap Melalui Media Sosial, Tentang Pengakuan Freddy Budiman Dalam Keterlibatan Aparat Penegak Hukum Menyangkut Bisnis Narkoba (Ada Tiga Lembaga Negara Yang Disebutkan, Yakni Badan Narkotika Nasional (BNN), Mabes Polri, dan TNI):

-1.Minta Kesaksian Freddy Budiman Diungkap,
-2.Minta Tim Investigasi Mengungkap Pihak Yang Disebut Freddy Budiman,
-3.Minta Pengungkapan Kasus Aliran Dana Haram Dari Gembong Narkoba Freddy Budiman,
-4.Diminta Bekerja Dengan Tegas Dan Profesional Dari Tim Independen Yang Sudah Dibentuk Polri Untuk Menuntaskan Kasus Tersebut,
-5.Selain Itu Diatas, Presiden Juga Berharap Tim Yang Dipimpin Oleh Personel Polri, Segera Menemukan Titik Terang Kasus Yang Disampaikan Koordinator KontraS Haris Azhar Dalam Tulisannya Yang Diungkap Melalui Media Sosial,
-6.Presiden Menekankan Pentingnya Profesionalitas Dan Independensi Tim Agar Kasus Itu Bisa Terungkap Dan Tuntas.  
-7.Jika Investigasi Mengungkap Pihak-pihak Seperti Disebutkan Freddy Budiman, Presiden Jokowi Meminta Agar Mereka Ditindak Tegas Sesuai Ketentuan Hukum Yang Berlaku. 
-8.Saya Sudah Sampaikan Bahwa Siapapun Yang Mempunyai Kapasitas Untuk Masuk Dalam Tim Investigasi Itu Silakan Saja, Semakin Banyak Pakar Akan Semakin Baik, Kata Presiden Joko Widodo.

(Written By: Ust.H.Rayyan Syahrial Hasibuan si Mr.Thinker Hasibuan).

Presiden Minta Kesaksian Freddy Budiman Diungkap
Presiden Joko Widodo  (Biro Pers Kepresidenan)

VIVA.co.id – Presiden Joko Widodo (Jokowi) mendukung sepenuhnya pengungkapan kasus aliran dana haram dari gembong narkoba Freddy Budiman yang sudah dieksekusi mati.

Tim independen yang sudah dibentuk Polri diminta bekerja dengan tegas dan profesional untuk menuntaskan kasus tersebut.

 
Selain itu, Presiden berharap tim yang dipimpin personel Polri ini segera menemukan titik terang kasus yang disampaikan Koordinator KontraS Haris Azhar dalam tulisannya yang diunggap melalui media sosial .

"Sudah ada tim di Polri. Saya sudah sampaikan bahwa siapa pun yang mempunyai kapasitas untuk masuk dalam tim investigasi itu, silakan saja. Semakin banyak pakar akan semakin baik," kata Jokowi usai membuka “The 3rd Congress Association of Asia Constitutional Courts and Equivalent Institutions” di Nusa Dua, Bali, Kamis, 11 Agustus 2016.

Meski mendukung penuh pengungkapan kasus tersebut, namun Jokowi menyayangkan mengapa tidak sejak lama kasus ini dibongkar. Apalagi, kata dia, peristiwa yang dialami Freddy sudah terjadi pada 2012.

Karena itu, Presiden menekankan pentingnya profesionalitas dan independensi tim agar kasus itu bisa terungkap dan tuntas.

 
Jika investigasi mengungkap pihak-pihak seperti disebutkan Freddy Budiman, Jokowi meminta agar mereka ditindak tegas sesuai ketentuan hukum yang berlaku.
"Kalau memang terbukti segera diproses saja sesuai hukum yang berlaku," ujar Jokowi.


Haris Azhar sebelumnya menuliskan testimoni berjudul "Cerita Busuk dari seorang Bandit: Kesaksian bertemu Freddy Budiman di Lapas Nusa Kambangan (2014)".


Tulisan itu memaparkan, dugaan keterlibatan aparat penegak hukum dalam bisnis narkoba. Ada tiga lembaga negara yang disebutkan, yakni Badan Narkotika Nasional (BNN), Mabes Polri, dan TNI.


Freddy menyebutkan, ada Rp450 miliar yang diberikan kepada oknum petugas BNN. Sementara Rp90 miliar disebutkan masuk ke oknum di Mabes Polri.

Seperti kesaksian Haris yang ia tuliskan, Freddy mengatakan. Dan kenapa hanya saya yang dibongkar? Kemana orang-orang itu. Dalam hitungan saya selama beberapa tahun kerja menyeludupkan narkoba, saya sudah memberi uang 450 miliar ke BNN. Saya sudah kasih 90 miliar ke pejabat tertentu di Mabes Polri.

Bahkan saya menggunakan fasilitas mobil TNI bintang 2, di mana si jendral duduk di samping saya ketika saya menyetir mobil tersebut dari Medan sampai Jakarta dengan kondisi di bagian belakang penuh barang narkoba. Perjalanan saya aman tanpa gangguan apapun. 


[Baca: Kesaksian Freddy Budiman dan Uang 'Titipan' untuk Aparat]

(ase)


NASIONAL

Kesaksian Freddy Budiman dan Uang 'Titipan' untuk Aparat

Freddy Budiman blak-blakan soal kasusnya kepada Haris Azhar.
Kesaksian Freddy Budiman dan Uang 'Titipan' untuk Aparat
Freddy Budiman smile (tvOne)
 
VIVA.co.id – Petualangan gembong narkotik kelas kakap, Freddy Budiman, terhenti di depan regu tembak pada Jumat dini hari, 29 Juli 2016.
Freddy menjadi satu dari empat terpidana mati kasus narkoba yang dieksekusi mati di Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, dini hari tadi. Freddy menjadi satu-satunya warga negara Indonesia yang dieksekusi mati tahap III.

Namun jelang detik-detik eksekusi, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Haris Azhar, memposting tulisan yang mengejutkan jagad Tanah Air. Tulisan itu dimuat di akun resmi Facebook maupun Twitter KontraS. Kesaksian itu berjudul 'Cerita Busuk dari Seorang Bandit'.
Haris bercerita tentang pertemuannya dengan Freddy Budiman di Lapas Batu Nusakambangan, di tengah riuhnya masa kampanye Pemilu Presiden tahun 2014 silam. Kala itu, Haris yang sedang sibuk berpartisipasi memberikan pendidikan HAM di masyarakat selama masa kampanye pilpres, menerima undangan dari sebuah organisasi gereja yang aktif melakukan pendampingan rohani di Lapas Batu Nusakambangan.

Singkat kata, melalui undangan organisasi gereja itu, Ia akhirnya bisa bertemu sejumlah narapidana kasus narkoba, terorisme, korban rekayasa kasus yang dipidana hukuman mati. Antara lain John Refra alias John Kei, Freddy Budiman dan Rodrigo Gularte.
Haris merasa beruntung karena pada saat itu, Kalapas Nusakambangan saat itu, Sitinjak, berkesempatan untuk berbincang, bertukar pikiran seputar kondisi lapas dan seputar kerjanya di Lapas Nusakambangan. Melalui Kalapas, Haris juga diberi waktu berbincang selama dua jam dengan terpidana mati kasus narkoba Freddy Budiman.

"Pada hari itu menjelang siang, di sebuah ruangan yang diawasi oleh Pak Sitinjak, dua pelayan gereja, dan John Kei, Freddy Budiman bercerita hampir dua jam, tentang apa yang ia alami, dan kejahatan apa yang ia lakukan," tulis Haris.

Dari balik penjara itu, Freddy Budiman blak-blakan seputar kasusnya. Freddy juga membeberkan bahwa ada campur tangan aparat dalam peredaran narkoba yang dia koordinir di Tanah Air.
Berikut kesaksian Freddy Budiman yang ditulis Haris Azhar dalam akun Facebook KontraS:

Cerita Busuk dari seorang Bandit:
Kesaksian bertemu Freddy Budiman di Lapas Nusa Kambangan (2014)


Ditengah proses persiapan eksekusi hukuman mati yang ketiga dibawah pemerintahan Joko Widodo, saya menyakini bahwa pelaksanaan ini hanya untuk ugal-ugalan popularitas. Bukin karena upaya keadilan. Hukum yang seharusnya bisa bekerja secra komprehensif menyeluruh dalam menanggulangi kejahatan ternyata hanya mimpi. Kasus Penyeludupan Narkoba yang dilakukan Freddy Budiman, sangat menarik disimak, dari sisi kelemahan hukum, sebagaimana yang saya sampaikan dibawah ini.

Di tengah-tengah masa kampanye Pilpres 2014 dan kesibukan saya berpartisipasi memberikan pendidikan HAM di masyarakat di masa kampanye pilpres tersebut, saya memperoleh undangan dari sebuah organisasi gereja. Lembaga ini aktif melakukan pendampingan rohani di Lapas Nusa Kambangan (NK). Melalui undangan gereja ini, saya jadi berkesempatan bertemu dengan sejumlah narapidana dari kasus teroris, korban kasus rekayasa yang dipidana hukuman mati. Antara lain saya bertemu dengan John Refra alias John Kei, juga Freddy Budiman, terpidana mati kasus Narkoba. Kemudian saya juga sempat bertemu Rodrigo Gularte, narapidana WN Brasil yang dieksekusi pada gelombang kedua (April 2015).

Saya patut berterima kasih pada Bapak Sitinjak, Kepala Lapas NK (saat itu), yang memberikan kesempatan bisa berbicara dengannya dan bertukar pikiran soal kerja-kerjanya. Menurut saya Pak Sitinjak sangat tegas dan disiplin dalam mengelola penjara. Bersama stafnya beliau melakukan sweeping dan pemantauan terhadap penjara dan narapidana. Pak Sitinjak hampir setiap hari memerintahkan jajarannya melakukan sweeping kepemilikan HP dan senjata tajam. Bahkan saya melihat sendiri hasil sweeping tersebut, ditemukan banyak sekali HP dan sejumlah senjata tajam.

Tetapi malang Pak Sitinjak, di tengah kerja kerasnya membangun integritas penjara yang dipimpinnya, termasuk memasang dua kamera selama 24 jam memonitor Freddy budiman. Beliau menceritakan sendiri, beliau pernah beberapa kali diminta pejabat BNN yang sering berkunjung ke Nusa Kambangan, agar mencabut dua kamera yang mengawasi Freddy Budiman tersebut.
Saya menganggap ini aneh, hingga muncul pertanyaan, kenapa pihak BNN berkeberatan adanya kamera yang mengawasi Freddy Budiman? Bukankah status Freddy Budiman sebagai penjahat kelas “kakap” justru harus diawasi secara ketat? Pertanyaan saya ini terjawab oleh cerita dan kesaksian Freddy Budiman sendiri.
Menurut ibu pelayan rohani yang mengajak saya ke NK, Freddy Budiman memang berkeinginan bertemu dan berbicara langsung dengan saya. Pada hari itu menjelang siang, di sebuah ruangan yang diawasi oleh Pak Sitinjak, dua pelayan gereja, dan John Kei, Freddy Budiman bercerita hampir 2 jam, tentang apa yang ia alami, dan kejahatan apa yang ia lakukan.


Freddy Budiman mengatakan kurang lebih begini pada saya:
“Pak Haris, saya bukan orang yang takut mati, saya siap dihukum mati karena kejahatan saya, saya tahu, resiko kejahata yang saya lakukan. Tetapi saya juga kecewa dengan para pejabat dan penegak hukumnya.


Saya bukan bandar, saya adalah operator penyeludupan narkoba skala besar, saya memiliki bos yang tidak ada di Indonesia. Dia (Boss saya) ada di Cina. Kalau saya ingin menyeludupkan narkoba, saya tentunya acarain (atur) itu, saya telepon polisi, BNN, Bea Cukai dan orang-orang yang saya telpon itu semuanya nitip (menitip harga). Menurut Pak Haris berapa harga narkoba yang saya jual di Jakarta yang pasarannya 200.000 – 300.000 itu?”
Saya menjawab 50.000. Fredi langsung menjawab:
“Salah. Harganya hanya 5000 perak keluar dari pabrik di Cina, makanya saya tidak pernah takut jika ada yang nitip harga ke saya. Ketika saya telepon si pihak tertentu ada yang nitip Rp 10.000 per butir, ada yang nitip 30.000 per butir, dan itu saya tidak pernah bilang tidak, selalu saya okekan. Kenapa Pak Haris?”


Fredy menjawab sendiri. “Karena saya bisa dapat per butir 200.000, jadi kalau hanya membagi rejeki 10.000- 30.000 ke masing-masing pihak di dalam institusi tertentu, itu tidak ada masalah. Saya hanya butuh 10 Miliar, barang saya datang. Dari keuntungan penjualan, saya bisa bagi-bagi puluhan miliar ke sejumlah pejabat di institusi tertentu.”

Fredy melanjutkan ceritanya. “Para polisi ini juga menunjukkan sikap main di berbagai kaki. Ketika saya bawa itu barang, saya ditangkap. Ketika saya ditangkap, barang saya disita. Tapi dari informan saya, bahan dari sitaan itu juga dijual bebas, saya jadi dipertanyakan oleh Bos saya (yang di Cina). Katanya udah deal sama polisi, tapi kenapa lo ditangkap? Udah gitu kalau ditangkap kenapa barangnya beredar? Ini yang main polisi atau lo?’”

Menurut Freddy, “Saya tau pak, setiap pabrik yang bikin narkoba, punya ciri masing-masing, mulai bentuk, warna, rasa. Jadi kalau barang saya dijual, saya tahu, dan itu temukan oleh jaringan saya di lapangan.”


Fredi melanjutkan lagi. “Dan kenapa hanya saya yang dibongkar? Kemana orang-orang itu. Dalam hitungan saya selama beberapa tahun kerja menyeludupkan narkoba, saya sudah memberi uang 450 Miliar ke BNN. Saya sudah kasih 90 Milyar ke pejabat tertentu di Mabes Polri. Bahkan saya menggunakan fasilitas mobil TNI bintang 2, di mana si jendral duduk di samping saya ketika saya menyetir mobil tersebut dari Medan sampai Jakarta dengan kondisi di bagian belakang penuh barang narkoba. Perjalanan saya aman tanpa gangguan apapun.”

Saya prihatin dengan pejabat yang seperti ini. Ketika saya ditangkap, saya diminta untuk mengaku dan menceritakan dimana dan siapa bandarnya, saya bilang, investor saya anak salah satu pejabat tinggi di Korea (saya kurang paham, korut apa korsel- HA), saya siap nunjukkin dimana pabriknya, dan saya pun berangkat dengan petugas BNN (tidak jelas satu atau dua orang). Kami pergi ke Cina sampai ke depan pabriknya. Lalu saya bilang kepada petugas BNN, mau ngapain lagi sekarang? Dan akhirnya mereka tidak tahu, sehingga kami pun kembali.

Saya selalu kooperatif dengan petugas penegak hukum. Kalau ingin bongkar, ayo bongkar. Tapi kooperatif-nya saya dimanfaatkan oleh mereka. Waktu saya dikatakan kabur, sebetulnya saya bukan kabur, ketika di tahanan, saya didatangi polisi dan ditawari kabur, padahal saya tidak ingin kabur, karena dari dalam penjara pun saya bisa mengendalikan bisnis saya. Tapi saya tahu polisi tersebut butuh uang, jadi saya terima aja. Tapi saya bilang ke dia kalau saya tidak punya uang. Lalu polisi itu mencari pinjaman uang kira-kira 1 Miliar dari harga yang disepakati 2 Miliar. Lalu saya pun keluar. Ketika saya keluar, saya berikan janji setengahnya lagi yang saya bayar. Tapi beberapa hari kemudian saya ditangkap lagi. Saya paham bahwa saya ditangkap lagi, karena dari awal saya paham dia hanya akan memeras saya.”

Freddy juga mengekspresikan bahwa dia kasihan dan tidak terima jika orang-orang kecil, seperti supir truk yang membawa kontainer narkoba yang justru dihukum, bukan si petinggi-petinggi yang melindungi.

Kemudian saya bertanya ke Freddy dimana saya bisa dapat cerita ini? Kenapa anda tidak bongkar cerita ini? Lalu freddy menjawab:
“Saya sudah cerita ke lawyer saya, kalau saya mau bongkar, ke siapa? Makanya saya penting ketemu Pak Haris, biar Pak Haris bisa menceritakan ke publik luas, saya siap dihukum mati, tapi saya prihatin dengan kondisi penegak hukum saat ini. Coba Pak Haris baca saja di pledoi saya di pengadilan, seperti saya sampaikan di sana.”


Lalu saya pun mencari pledoi Freddy Budiman, tetapi pledoi tersebut tidak ada di website Mahkamah Agung, yang ada hanya putusan yang tercantum di website tersebut. Dalam putusan tersebut juga tidak mencantumkan informasi yang disampaikan Freddy, yaitu adanya keterlibatan aparat negara dalam kasusnya.
Kami di KontraS mencoba mencari kontak pengacara Freddy, tetapi menariknya, dengan begitu kayanya informasi di internet, tidak ada satu pun informasi yang mencantumkan dimana dan siapa pengacara Freddy. Dan kami gagal menemui pengacara Freddy untuk mencari informasi yang disampaikan, apakah masuk ke berkas Freddy Budiman sehingga bisa kami mintakan informasi perkembangan kasus tersebut.

Haris Azhar (2016).

(ase)

Freddy Budiman dan 'Cerita Busuk Seorang Bandit'

Reporter : Maulana | Jumat, 29 Juli 2016 17:19
Mobil Ambulans Yang Membawa Jenazah Terpidana Mati Freddy Budiman (Antara/Idhad Zakaria)
Sebelum menjalani hukuman itu, Freddy pernah berkisah tentang petualangan kelam sebagai bandit narkoba kepada Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Haris Azhar.

Haris mengaku bertemu Freddy pada 2014. Dan mengunggah perbincangan mereka ke Facebook Kontras dengan judul “Cerita Busuk dari Seorang Bandit”, jelang pelaksanaan eksekusi mati terhadap Freddy. 

"Cerita yang disusun ini adalah fakta peristiwa. Bertujuan untuk membuktikan bahwa pelaksanaan hukuman mati yang didukung dengan keterlibatan instansi-instansi negara dalam bisnis obat-obat terlarang adalah sesuatu yang benar, namun tidak pernah terusut," tulis Haris mengawali tulisan di laman Facebook Kontras.

Dari sepenggal kisah yang diceritakan, cukup mengejutkan, Freddy mengaku selama menjalankan bisnisnya, dia mendapat dukungan dari pihak penegak hukum Indonesia. Sebab, dia mengaku sebagai anak buah jaringan narkotika internasional.

“Pak Haris, saya bukan orang yang takut mati, saya siap dihukum mati karena kejahatan saya, saya tahu, resiko kejahata yang saya lakukan. Tetapi saya juga kecewa dengan para pejabat dan penegak hukumnya. Saya bukan bandar, saya adalah operator penyeludupan narkoba skala besar, saya memiliki bos yang tidak ada di Indonesia. Dia (Boss saya) ada di Cina. Kalau saya ingin menyeludupkan narkoba, saya tentunya acarain (atur) itu, saya telepon polisi, BNN, Bea Cukai dan orang-orang yang saya telpon itu semuanya nitip (menitip harga). Menurut Pak Haris berapa harga narkoba yang saya jual di Jakarta yang pasarannya 200.000 – 300.000 itu?” tulis Haris menirukan pengakuan Freddy.

Pengakuan Fredi tersebut memang masih perlu ditelisik kebenarannya. Meski begitu, tulisan Haris Azhar mengenai kesaksian Freddy Budiman ini penting untuk disimak sebagai gambaran bagaimana jalannya proses penegakan hukum di Indonesia dan kisah keadilan yang harus diterima seorang terpidana mati.

Berikut catatan Haris Azhar jelang kematian Freddy Budiman,

Freddy Budiman dan 'Cerita Busuk Seorang Bandit'

Reporter : Maulana | Jumat, 29 Juli 2016 17:19 
Mobil Ambulans Yang Membawa Jenazah Terpidana Mati Freddy Budiman (Antara/Idhad Zakaria)
Kesaksian bertemu Freddy Budiman di Lapas Nusa Kambangan (2014)


Di tengah proses persiapan eksekusi hukuman mati yang ketiga dibawah pemerintahan Joko Widodo, saya menyakini bahwa pelaksanaan ini hanya untuk ugal-ugalan popularitas. Bukin karena upaya keadilan. Hukum yang seharusnya bisa bekerja secra komprehensif menyeluruh dalam menanggulangi kejahatan ternyata hanya mimpi. Kasus Penyeludupan Narkoba yang dilakukan Freddy Budiman, sangat menarik disimak, dari sisi kelemahan hukum, sebagaimana yang saya sampaikan dibawah ini.
Di tengah-tengah masa kampanye Pilpres 2014 dan kesibukan saya berpartisipasi memberikan pendidikan HAM di masyarakat di masa kampanye pilpres tersebut, saya memperoleh undangan dari sebuah organisasi gereja. Lembaga ini aktif melakukan pendampingan rohani di Lapas Nusa Kambangan (NK). Melalui undangan gereja ini, saya jadi berkesempatan bertemu dengan sejumlah narapidana dari kasus teroris, korban kasus rekayasa yang dipidana hukuman mati. Antara lain saya bertemu dengan John Refra alias John Kei, juga Freddy Budiman, terpidana mati kasus Narkoba. Kemudian saya juga sempat bertemu Rodrigo Gularte, narapidana WN Brasil yang dieksekusi pada gelombang kedua (April 2015).

Saya patut berterima kasih pada Bapak Sitinjak, Kepala Lapas NK (saat itu), yang memberikan kesempatan bisa berbicara dengannya dan bertukar pikiran soal kerja-kerjanya. Menurut saya Pak Sitinjak sangat tegas dan disiplin dalam mengelola penjara. Bersama stafnya beliau melakukan sweeping dan pemantauan terhadap penjara dan narapidana. Pak Sitinjak hampir setiap hari memerintahkan jajarannya melakukan sweeping kepemilikan HP dan senjata tajam. Bahkan saya melihat sendiri hasil sweeping tersebut, ditemukan banyak sekali HP dan sejumlah senjata tajam.

Sipir LP didesak oknum

Tetapi malang Pak Sitinjak, di tengah kerja kerasnya membangun integritas penjara yang dipimpinnya, termasuk memasang dua kamera selama 24 jam memonitor Freddy budiman. Beliau menceritakan sendiri, beliau pernah beberapa kali diminta pejabat BNN yang sering berkunjung ke Nusa Kambangan, agar mencabut dua kamera yang mengawasi Freddy Budiman tersebut.
Saya menganggap ini aneh, hingga muncul pertanyaan, kenapa pihak BNN  berkeberatan adanya kamera yang mengawasi Freddy Budiman? Bukankah status Freddy Budiman sebagai penjahat kelas “kakap” justru harus diawasi secara ketat? Pertanyaan saya ini terjawab oleh cerita dan kesaksian Freddy Budiman sendiri.
Menurut ibu pelayan rohani yang mengajak saya ke NK, Freddy Budiman memang berkeinginan bertemu dan berbicara langsung dengan saya. Pada hari itu menjelang siang, di sebuah ruangan yang diawasi oleh Pak Sitinjak, dua pelayan gereja, dan John Kei, Freddy Budiman bercerita hampir 2 jam, tentang apa yang ia alami, dan kejahatan apa yang ia lakukan.

Freddy Budiman mengatakan kurang lebih begini pada saya:
“Pak Haris, saya bukan orang yang takut mati, saya siap dihukum mati karena kejahatan saya, saya tahu, resiko kejahata yang saya lakukan. Tetapi saya juga kecewa dengan para pejabat dan penegak hukumnya.


Saya bukan bandar, saya adalah operator penyeludupan narkoba skala besar, saya memiliki bos yang tidak ada di Indonesia. Dia (Boss saya) ada di Cina. Kalau saya ingin menyeludupkan narkoba, saya tentunya acarain (atur) itu, saya telepon polisi, BNN, bea cukai dan orang-orang yang saya telpon itu semuanya nitip (menitip harga). Menurut Pak Haris berapa harga narkoba yang saya jual di Jakarta yang pasarannya 200.000 – 300.000 itu?”

Harga perbutir narkoba ternyata...

Saya menjawab 50.000. Fredi langsung menjawab:
“Salah. Harganya hanya 5000 perak keluar dari pabrik di Cina, makanya saya tidak pernah takut jika ada yang nitip harga ke saya. Ketika saya telepon si pihak tertentu ada yang nitip Rp 10.000 per butir, ada yang nitip 30.000 per butir, dan itu saya tidak pernah bilang tidak, selalu saya okekan. Kenapa Pak Haris?”


Fredy menjawab sendiri. “Karena saya bisa dapat per butir 200.000, jadi kalau hanya membagi rejeki 10.000- 30.000 ke masing-masing pihak di dalam institusi tertentu, itu tidak ada masalah. Saya hanya butuh 10 Miliar, barang saya datang. Dari keuntungan penjualan, saya bisa bagi-bagi puluhan miliar ke sejumlah pejabat di institusi tertentu.”

Fredy melanjutkan ceritanya. “Para polisi ini juga menunjukkan sikap main di berbagai kaki. Ketika saya bawa itu barang, saya ditangkap. Ketika saya ditangkap, barang saya disita. Tapi dari informan saya, bahan dari sitaan itu juga dijual bebas, saya jadi dipertanyakan oleh Bos saya (yang di Cina). Katanya udah deal sama polisi, tapi kenapa lo ditangkap? Udah gitu kalau ditangkap kenapa barangnya beredar? Ini yang main polisi atau lo?’”

Menurut Freddy, “Saya tau pak, setiap pabrik yang bikin narkoba, punya ciri masing-masing, mulai bentuk, warna, rasa. Jadi kalau barang saya dijual, saya tahu, dan itu temukan oleh jaringan saya di lapangan.”

Dana miliaran ke penegak hukum

Fredi melanjutkan lagi. “Dan kenapa hanya saya yang dibongkar? Kemana orang-orang itu. Dalam hitungan saya selama beberapa tahun kerja menyeludupkan narkoba, 
-saya sudah memberi uang 450 Miliar ke BNN. 
-Saya sudah kasih 90 Milyar ke pejabat tertentu di Mabes Polri. -Bahkan saya menggunakan fasilitas mobil TNI, di mana si jendral duduk di samping saya ketika saya menyetir mobil tersebut dari Medan sampai Jakarta dengan kondisi di bagian belakang penuh barang narkoba. Perjalanan saya aman tanpa gangguan apapun.”

Saya prihatin dengan pejabat yang seperti ini. Ketika saya ditangkap, saya diminta untuk mengaku dan menceritakan dimana dan siapa bandarnya, saya bilang, investor saya anak salah satu pejabat tinggi di Korea (saya kurang paham, korut apa korsel- HA), saya siap nunjukkin dimana pabriknya, dan saya pun berangkat dengan petugas BNN (tidak jelas satu atau dua orang). Kami pergi ke Cina sampai ke depan pabriknya. Lalu saya bilang kepada petugas BNN, mau ngapain lagi sekarang? Dan akhirnya mereka tidak tahu, sehingga kami pun kembali.

Saya selalu kooperatif dengan petugas penegak hukum. Kalau ingin bongkar, ayo bongkar. Tapi kooperatif-nya saya dimanfaatkan oleh mereka. Waktu saya dikatakan kabur, sebetulnya saya bukan kabur, ketika di tahanan, saya didatangi polisi dan ditawari kabur, padahal saya tidak ingin kabur, karena dari dalam penjara pun saya bisa mengendalikan bisnis saya. Tapi saya tahu polisi tersebut butuh uang, jadi saya terima aja. Tapi saya bilang ke dia kalau saya tidak punya uang. Lalu polisi itu mencari pinjaman uang kira-kira 1 Miliar dari harga yang disepakati 2 Miliar. Lalu saya pun keluar. Ketika saya keluar, saya berikan janji setengahnya lagi yang saya bayar. Tapi beberapa hari kemudian saya ditangkap lagi. Saya paham bahwa saya ditangkap lagi, karena dari awal saya paham dia hanya akan memeras saya.”

Freddy juga mengekspresikan bahwa dia kasihan dan tidak terima jika orang-orang kecil, seperti supir truk yang membawa kontainer narkoba yang justru dihukum, bukan si petinggi-petinggi yang melindungi. 

Pledoi hilang di persidangan?

Kemudian saya bertanya ke Freddy dimana saya bisa dapat cerita ini? Kenapa anda tidak bongkar cerita ini? Lalu freddy menjawab:
“Saya sudah cerita ke lawyer saya, kalau saya mau bongkar, ke siapa? Makanya saya penting ketemu Pak Haris, biar Pak Haris bisa menceritakan ke publik luas, saya siap dihukum mati, tapi saya prihatin dengan kondisi penegak hukum saat ini. Coba Pak Haris baca saja di pledoi saya di pengadilan, seperti saya sampaikan di sana.”

Lalu saya pun mencari pledoi Freddy Budiman, tetapi pledoi tersebut tidak ada di website Mahkamah Agung, yang ada hanya putusan yang tercantum di website tersebut. Dalam putusan tersebut juga tidak mencantumkan informasi yang disampaikan Freddy, yaitu adanya keterlibatan aparat negara dalam kasusnya.
Kami di KontraS mencoba mencari kontak pengacara Freddy, tetapi menariknya, dengan begitu kayanya informasi di internet, tidak ada satu pun informasi yang mencantumkan dimana dan siapa pengacara Freddy. Dan kami gagal menemui pengacara Freddy untuk mencari informasi yang disampaikan, apakah masuk ke berkas Freddy Budiman sehingga bisa kami mintakan informasi perkembangan kasus tersebut.
Haris Azhar (2016).


NASIONAL

Freddy Budiman Dijadikan Mesin ATM di Lapas?

Hal itu diungkapkan oleh Haris Azhar dari KontraS.
 
Freddy Budiman Dijadikan Mesin ATM di Lapas?
Freddy Budiman
 VIVA.co.id - Sesaat sebelum gembong narkoba Freddy Budiman dieksekusi, masyarakat Indonesia dibuat terkejut dengan pengakuan koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Haris Azhar.
Ia mengklaim adanya keterlibatan oknum pejabat Badan Narkotika Nasional (BNN) dan polisi dalam bisnis narkoba Freddy.
Haris mengetahui keterlibatan aparat dalam bisnis haram itu dari perbincangannya dengan Freddy saat berkunjung ke Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Nusakambangan tahun 2014 lalu.
Tak hanya menyinggung keterlibatan oknum-oknum tadi, ia juga menyebut bahwa Freddy dijadikan 'mesin uang' semasa masih dapat mengoperasikan bisnis narkoba di dalam lapas.

"Seperti yang saya ceritakan, ada dua kamera CCTV di ruang tahanan Freddy yang dicabut atas suruhan dua orang dari BNN. Sejak saat itu dia (Freddy Budiman) masih bisa operasikan bisnisnya di dalam lapas," ujar Haris di kantor KontraS, Senen, Jakarta Pusat.

Ditambah lagi, dengan dipindahkannya Kepala Lapas Nusakambangan saat itu Liberty Sitinjak ke daerah lain semakin memperkuat dugaan Haris.

"Pak Sitinjak itu kinerjanya bagus. Kalau sidak, yang diamankan bukan hanya satu keranjang senjata tajam dan telepon genggam dari para napi, tapi satu sampai dua lemari. Berarti kan dia bagus, kok dimutasi? Ini ada apa?" ujar Haris.
Sitinjak, kata Haris, adalah orang yang menemaninya berkeliling Lapas Nusakambangan pada saat dirinya mengadakan kunjungan pada tahun 2014 silam.

Sejak Freddy menceritakan kejadian itu, Haris mengaku terus memantau perkembangan Freddy di lapas.

"Waktu saya tahu kalau Freddy masih bisa melakukan bisnis di dalam lapas, logikanya ketemu kan? Ini Freddy dijadikan mesin ATM. Waktu itu rambut dia diwarnain (saat kasus bisnis narkoba Freddy dari dalam lapas terbongkar), sebelumnya hitam," ujar Haris.

Sebelumnya diberitakan, Freddy menjadi satu dari empat terpidana mati kasus narkoba yang dieksekusi mati di Lapas Nusakambangan dini hari tadi. Freddy, menjadi satu-satunya warga negara Indonesia yang dieksekusi mati tahap III.
Namun, jelang detik-detik eksekusi, Haris memposting tulisan yang mengejutkan jagad tanah air. Tulisan itu dimuat di akun resmi Facebook maupun Twitter KontraS. Kesaksian itu berjudul 'Cerita Busuk dari Seorang Bandit'. (ase)
NASIONAL

Haris Azhar Bicara Bukti Perbincangan dengan Freddy Budiman

Terkait isu keterlibatan oknum BNN dan polisi dalam peredaran narkoba.
 
Haris Azhar Bicara Bukti Perbincangan dengan Freddy Budiman
Freddy Budiman (VIVA.co.id/Muhammad Iqbal)
 VIVA.co.id - Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Haris Azhar, menjelaskan kalau penjagaan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, sangat ketat.

Segala macam barang elektronik seperti telepon genggam, hingga alat pencatat apapun tidak diperkenankan dibawa masuk ke dalam Lapas oleh pengunjung Lapas.

"Perlu saya jelaskan, untuk masuk ke Lapas (Nusakambangan) tidak boleh membawa kamera, alat pencatat, telepon genggam atau apapun," kata Haris di kantor KontraS, Senen, Jakarta Pusat, Jumat, 29 Juli 2016.

Maka, lanjutnya, hal itu cukup jelas untuk menjawab pertanyaan awak media yang bertanya padanya, apakah Haris mempunyai bukti rekaman ketika berbincang dengan Freddy Budiman pada tahun 2014 silam.

"Jadi saya katakan, enggak ada video atau rekaman (perbincangan dengan Freddy), karena alat pencatat, itu tidak diperbolehkan. Saya harus hormati aturannya, itu komitmen peraturannya (lapas)," kata Haris.

Freddy menjadi satu dari empat terpidana mati kasus narkoba yang dieksekusi mati di Lapas Nusakambangan Jumat dini hari. Freddy, menjadi satu-satunya warga negara Indonesia yang dieksekusi mati tahap III.
Namun, jelang detik-detik eksekusi, Haris mengunggah tulisan yang mengejutkan. Tulisan itu dimuat di akun resmi Facebook maupun Twitter KontraS.
Kesaksian berjudul 'Cerita Busuk dari Seorang Bandit' itu berisi isu bahwa ada keterlibatan oknum pejabat Badan Narkotika Nasional (BNN), Polri dan Bea Cukai dalam peredaran narkoba yang dilakukan Freddy. (ase)


Tim Penelusur 'Cerita Busuk dari Seorang Bandit'
, CNN Indonesia
 
Polri Kirim Tim Penelusur 'Cerita Busuk dari Seorang Bandit' Koordinator Kontras Haris Azhar. (CNN Indonesia/Gautama Padmacinta)

Jakarta, CNN Indonesia -- Polri akan mengirim tim independen ke Lapas Nusa Kambangan, Cilacap, Senin pekan depan (15/8) untuk menelusuri kebenaran informasi dalam artikel Cerita Busuk dari Seorang Bandit.

Tim diberangkatkan untuk membuktikan bahwa Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Haris Azhar pernah bertemu bandar sekaligus terpidana mati kasus narkotik Fredi Budiman pada 2014.

Penanggung jawab Tim Independen Polri Komisaris Jenderal Dwi Priyatno mengatakan proses pembuktian akan dilakukan dengan menemui sejumlah pihak yang diduga ikut dalam pertemuan kala itu.

"Kami akan konfirmasi ke beberapa orang yang hadir dalam pertemuan itu. Kami ingin membuktikan bahwa terjadi pertemuan Haris dengan Fredi," kata Dwi saat memberikan keterangan pers di Ruang Rektorium, Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian, Jakarta Selatan pada Kamis (11/8).

Di tempat yang sama, anggota Tim Independen Polri Hendardi menyampaikan bahwa langkah pihaknya bertolak ke Lapas Nusakambangan sekaligus untuk menelusuri  apakah ada fakta terkait aliran uang dari Fredi kepada sejumlah oknum aparat penegak hukum yang belum diungkapkan oleh Haris.

Menurutnya, informasi itu dapat digunakan untuk menelusuri lebih jauh terkait keterlibatan oknum aparat penegak hukum dalam bisnis narkotik di Indonesia.

"Kami akan cek apakah ada yang terlewat oleh Haris. Bisa saja, ada sekian miliar dikirim ke pejabat ini, mungkin nanti dapat informasi ada yang dengar ke pejabat lain juga," ujar Ketua SETARA Institute itu.

Dwi  menyampaikan bahwa pihaknya memasang tenggat waktu selama satu bulan untuk mencari fakta terkait cerita Haris. Tim Independen Polri akan mengoptimalkan seluruh upaya untuk mencari kebenaran informasi yang menyebutkan bahwa ada oknum anggota Polri yang menerima upeti sebesar Rp90 miliar dari bisnis narkotik Fredi.

"Kalau butuh waktu lagi kami perpanjang," ujarnya.

Sebelumnya Polri mengikuti jejak BNN dan TNI melaporkan Haris ke Bareskrim Polri atas tuduhan pencemaran nama baik. Langkah Haris mempublikasikan artikel hasil percakapannya Fredi disebut melanggar Pasal 27 ayat 3 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik.

Dalam artikel itu, Haris menyebut bahwa Fredi pernah memberikan upeti sebesar Rp90 miliar kepada oknum anggota Polri untuk memuluskan bisnis narkotiknya.

Alih-alih melakukan penyelidikan terhadap laporan itu, Polri kini membentuk tim independen untuk menelusuri kebenaran informasi dalam cerita Haris.

Tim itu akan dipimpin Inspektur Pengawasan Umum Polri Komisaris Jenderal Dwi Priyatno, dan beranggotakan personel Bareskrim Polri, Divisi Hubungan Masyarakat Polri, Ketua Setara Institute Hendardi, anggota Komisi Kepolisian Nasional Poengky Indarti, serta pakar komunikasi dari Universitas Indonesia Effendi Gazali. (gil)

Cerita Busuk Seorang Bandit, Boy: Belum Tentu Sebuah Kebenaran













Kadiv Humas Polri Irjen Pol Boy Rafli Amar memberikan keterangan kepada wartawan terkait pelaporan Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar ke Badan Reserse Kriminal Polri di Mabes Polri, Jakarta, Rabu (3/8). (ANTARA FOTO/Reno Esnir)
 
 
Kadivhumas Polri Irjen Pol Boy Rafli Amar meminta masyarakat untuk bersikap obyektif dan tidak menghakimi institusi Polri, menyusul bergulirnya isu tulisan yang dibuat oleh Koordinator Kontras Haris Azhar mengenai keterlibatan pejabat Polri dalam bisnis narkoba.

"Kami harap masyarakat dapat memahami apa yang diucapkan Haris Azhar melalui tulisannya belum tentu sebuah kebenaran. Masih harus diselidiki dulu kebenarannya," kata Irjen Boy di Jakarta, Rabu.

Menurutnya bergulirnya isu 'curhatan' mendiang terpidana mati Freddy Budiman ini sangat merugikan citra Polri karena publik tidak menunggu hasil investigasi kasus ini, melainkan cenderung memberi penilaian sendiri.

"Institusi kami sedang membangun soliditas, perang melawan narkoba. Kami tidak ingin isu ini berakibat melemahnya semangat (melawan narkoba). Jujur, kami (Polri) tidak mau kehilangan kepercayaan publik, akan tambah berat perjuangan kami bila kepercayaan publik hilang," tegasnya, seperti dikutip Antara.

Kendati demikian, pihaknya berterima kasih atas tulisan Haris karena hal itu menjadi kritikan yang penting dalam upaya Polri memberantas peredaran narkoba.

Sementara tim independen yang dibentuk Polri guna menelisik kebenaran informasi dalam artikel Cerita Busuk Dari Seorang Bandit, masih bekerja.

Tim yang diketuai oleh Inspektur Pengawasan Umum Polri Komjen Dwi Priyatno ini beranggotakan Ketua SETARA Institute Hendardi, anggota Komisi Kepolisian Nasional Poengky Indarti dan pakar komunikasi dari Universitas Indonesia Effendi Gazali.

Tim ini bertugas mengusut kebenaran informasi mengenai Freddy yang diduga pernah memberi upeti Rp450 miliar kepada oknum anggota Badan Narkotika Nasional (BNN), dan Rp90 miliar kepada oknum polisi.

6 Keanehan Pengakuan Freddy dalam Cerita Busuk dari Seorang Bandit

Written By:  Mantan Deputi Bidang Pemberantasan Badan Nasional Narkotika (BNN) Irjen (Purn) Benny Mamoto

Minggu, 31 Juli 2016 , 07:42:00
Freddy Budiman. Foto: dok/Jawa Pos
Freddy Budiman. Foto: dok/Jawa Pos

JAKARTA - Mantan Deputi Bidang Pemberantasan Badan Nasional Narkotika (BNN) Irjen (Purn) Benny Mamoto menilai, ada enam kejanggalan di balik cerita tereksekusi mati, Freddy Budiman. 


Pertama, Benny memandang, mengapa tulisan Haris tersebut baru diekspos setelah sumber utamanya, Freddy Budiman dieksekusi mati. Haris menimbulkan polemik di tengah-tengah masyarakat, sedangkan polisi tidak bisa mencari tahu kebenarannya lantaran Freddy sudah tewas.

"Kenapa tidak sebelumnya diekspos. Dia (Haris) katanya tahu itu 2014, sementara sudah lama Freddy isunya dieksekusi mati‎. Freddy itu sudah tidak bisa dikonfirmasi. Kalau Freddy masih hidup mungkin bisa diselidiki," kata Benny.

Kedua, dalam tulisan Haris, dia mengaku, tidak bisa mencari pengacara Freddy dan tidak menemukan isi pledoi pengadilan. Menurut Benny, Haris seakan memudahkan hal yang tidak mungkin disembunyikan dalam pengadilan.

"Coba pelajari tulisannya di alinea-alinea terakhir. Itu tulisannya dia coba cari pledoi tidak dapat, coba cari lawyer tidak dapat. Nah sementara kalau di dalam PK (peninjauan kembali) ada lawyernya. Kalau benar si Freddy sudah mengucapkan pasti ada di dalam plaidoi. Masak sekelas KontraS, tidak bisa mencari pengacara. Kemudian kalau sudah dibacakan di dalam sidang itu pasti sudah geger media mem-blow up informasinya," beber Haris.

Ketiga, kata dia, saat hendak dikonfirmasi kepada Haris terkait kebenaran tulisan tersebut, pihak Mabes Polri tidak menemukan jawaban yang tepat. Kapolri Jenderal Tito Karnavian sendiri mengutus Kadiv Humas Polri Irjen Boy Rafli untuk menyelami kebenaran tulisan Haris.

"Saya juga mengapresiasi Kapolri karena cepat tanggap dengan mengutus Pak Boy. Tapi jawabannya "Saya kan hanya menyampaikan pesan bahwa ada keterlibatan aparat". Jadi kami harus bagaimana kalau sudah begini. Kami harus tanya mayat," ujar Benny.

Terkuak! Ini 6 Kejanggalan Dalam Cerita Busuk Dari Seorang Bandit, Kesaksian Freddy Budiman 

(tandas Benny).


Rakyat.win ~ Empat narapidana narkoba telah dihukum mati oleh pemerintah di Lapas Nusakambangan, salah satunya adalah gembong narkoba, Freddy Budiman. Yang mengejutkan adalah munculnya kesaksian Freddy menurut Haris Azhar, bercerita mengenai keterlibatan oknum pejabat dalam bisnis narkoba. Irjen (Purn) Benny Mamoto, mantan Deputi Bidang Pemberantasan Badan Nasional Narkotika (BNN) menilai jika kisah kesaksian ini janggal, ia menemukan 6 kejanggalan. Kisah yang berjudul "Cerita Busuk dari Seorang Bandit" yang diekspose olehKoordinator KontraS, Haris Azhar harus diuji kebenarannya.

Pertama, Benny memandang, mengapa tulisan Haris tersebut baru diekspos setelah sumber utamanya, Freddy Budiman dieksekusi mati. Haris menimbulkan polemik di tengah-tengah masyarakat, sedangkan polisi tidak bisa mencari tahu kebenarannya lantaran Freddy sudah tewas.

"Kenapa tidak sebelumnya diekspos. Dia (Haris) katanya tahu itu 2014, sementara sudah lama Freddy isunya dieksekusi mati. Freddy itu sudah tidak bisa dikonfirmasi. Kalau Freddy masih hidup mungkin bisa diselidiki," kata Benny.

Kedua, dalam tulisan Haris, dia mengaku, tidak bisa mencari pengacara Freddy dan tidak menemukan isi pledoi pengadilan. Menurut Benny, Haris seakan memudahkan hal yang tidak mungkin disembunyikan dalam pengadilan.
 
"Coba pelajari tulisannya di alinea-alinea terakhir. Itu tulisannya dia coba cari pledoi tidak dapat, coba cari lawyer tidak dapat. Nah sementara kalau di dalam PK (peninjauan kembali) ada lawyernya. Kalau benar si Freddy sudah mengucapkan pasti ada di dalam plaidoi. Masak sekelas KontraS, tidak bisa mencari pengacara. Kemudian kalau sudah dibacakan di dalam sidang itu pasti sudah geger media mem-blow up informasinya," beber Haris.

Ketiga, kata dia, saat hendak dikonfirmasi kepada Haris terkait kebenaran tulisan tersebut, pihak Mabes Polri tidak menemukan jawaban yang tepat. Kapolri Jenderal Tito Karnavian sendiri mengutus Kadiv Humas Polri Irjen Boy Rafli untuk menyelami kebenaran tulisan Haris.

"Saya juga mengapresiasi Kapolri karena cepat tanggap dengan mengutus Pak Boy. Tapi jawabannya "Saya kan hanya menyampaikan pesan bahwa ada keterlibatan aparat". Jadi kami harus bagaimana kalau sudah begini. Kami harus tanya mayat," ujar Benny.


Keempat, Benny menilai, Polri tidak punya kewenangan dalam mengeksekusi mati seseorang. Sehingga, tulisan Haris yang menyatakan Polri membungkam Freddy tidak tepat.

"Dibilangnya gara-gara hukuman mati malah dituduh Polri membungkam Freddy. Padahal dari dulu isunya Freddy sudah mau dihukum mati. Eksekutornya juga Kejagung. Kami tidak tahu apa-apa, dieksekusi karena keputusan Kejagung, tiba-tiba Polri dibilang membungkam," terang dia.


Kelima, Benny memandang, ucapan seorang pengguna narkoba tidak bisa dipegang sepenuhnya. Apalagi, kata dia, Freddy merupakan pengguna kelas berat, yang fungsi otaknya tidak bekerja dengan baik.

"Jelas ngomongnya ngaco karena dia pemakai berat. Saya sudah memeriksa banyak orang dari sipil, kolonel, danlanal. Kalau diperiksa ya ngomongnya ngaco. Padahal kalau mungkin informasi tersebut terkuak saat Freddy hidup dan dia tidak pakai narkoba mungkin bobot kebenaran dari yang disebutkan tadi itu bisa diselidiki," jelasnya.


Keenam, pria yang sering kali menangani sepak terjang Freddy ini, juga menampik bahwa BNN tidak pernah membawa Freddy ke Tiongkok. Dia mengklaim, otoritas Tiongkok tidak mungkin mengeluarkan izin kepada Freddy, mengingat yang bersangkutan kriminal.

"Yang terjadi faktanya penyidik dari Tiongkok datang ke Lapas Cipinang, Jakarta Timur, untuk kepentingan berkas perkara pemilik narkoba yang ada di Tiongkok. Mereka ini satu jaringan. Dia saat itu diperiksa sebagai saksi untuk berkas perkara mereka, karena pemasoknya, ditangkap. Masak dia berhalusinasi terbang ke Tiongkok. Yang benar aja," tandas Benny.

Sumber: berantai.com

POLITIK

DPR Sarankan Tim Indepenen Bentukan Polri Libatkan PPATK

"Lakukan investigasi gabungan menyelidiki internal," kata Masinton.
DPR Sarankan Tim Indepenen Bentukan Polri Libatkan PPATK
Dukungan Terhadap Aktivis Kontras Haris Azhar (VIVA.co.id/Muhammad Solihin) 

VIVA.co.id – Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Masinton Pasaribu mengapresiasi langkah Polri yang menunda sementara kasus pelaporan terhadap Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Haris Azhar.

"Lakukan investigasi gabungan untuk menyelidiki internal dia (Polri) dulu," kata Masinton saat dihubungi, Kamis, 11 Agustus 2016.

Menurut Politikus PDI Perjuangan tersebut, secara ideal sebaiknya Polri melibatkan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk menginvestigasi kebenaran pernyataan Haris Azhar yang mengutip pengakuan gembong narkoba, Freddy Budiman. Pengakuan tersebut menyebutkan bahwa ada keterlibatan sejumlah aparat dalam bisnis haram narkoba selama ini.


"Sembari berjalan tim ini meminta aliran dana ke PPATK dalam menelusuri aliran dana yang diduga berkaitan dengan kegiatan peredaran narkotika," ujarnya menambahkan.


Tak hanya itu, ia menilai tim bentukan Polri ini sebaiknya juga dibuat dengan cara lintas institusi. Komunikasi kata dia akan mudah dilakukan karena tiap institusi biasanya sudah memiliki fungsi pengawasan internal yang melekat. 


"Tim gabungan penting bersifat ad hoc."
Hal tersebut disampaikan Masinton menyusul pembentukan tim independen oleh Polri yang berasal dari unsur Kompolnas, Divisi Hukum Polri dan akademisi. Tim tersebut akan bekerja memeriksa keterangan dan hal-hal yang disebutkan Haris Azhar dalam pengakuan Freddy yang diunggah di media sosial dan menarik perhatian masyarakat luas.


(mus)



NASIONAL

Ini Layanan Hotline Pengaduan Testimoni Freddy Budiman

Masyarakat yang memiliki informasi dapat menyampaikan kepada tim.
 
Ini Layanan Hotline Pengaduan Testimoni Freddy Budiman
Terpidana Mati Kasus Narkoba Freddy Budiman (VIVA.co.id/Muhammad Iqbal)
 
 


Polri Hentikan Sementara Pengusutan Haris Azhar

 Kamis, 11 Agustus 2016 |


VIVA.co.id – Setelah sepekan bersitegang, akhirnya pihak Polri duduk bersama dengan kordinator Kontras, Haris Azhar. Polri menunda sementara waktu pengusutan laporan dugaan pencemaran nama baik yang dilakukan oleh Haris Azhar.


Layakkah Haris Azhar Jadi Tersangka 

(Bagian 1)


VIVA.co.id – Polemik tentang kelayakan peningkatan status hukum Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar menjadi tersangka terus menjadi perhatian masyarakat. Meski demikian Haris yang dilaporkan institusi Polri, TNI, dan BNN belum dimintai keterangan oleh pihak yang berwenang.
 

Layakkah Haris Azhar Jadi Tersangka (Bagian 1)


Layakkah Haris Azhar Jadi Tersangka 

(Bagian 2)


VIVA.co.id – Polemik tentang kelayakan peningkatan status hukum Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar menjadi tersangka terus menjadi perhatian masyarakat. Meski demikian Haris yang dilaporkan institusi Polri, TNI, dan BNN belum dimintai keterangan oleh pihak yang berwenang.



Layakkah Haris Azhar Jadi Tersangka (Bagian 2)

Layakkah Haris Azhar Jadi Tersangka 

(Bagian 3)


VIVA.co.id – Polemik tentang kelayakan peningkatan status hukum Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar menjadi tersangka terus menjadi perhatian masyarakat. Meski demikian Haris yang dilaporkan institusi Polri, TNI, dan BNN belum dimintai keterangan oleh pihak yang berwenang.




NASIONAL

Beredar Informasi Testimoni Video Freddy Budiman

Testimoni dibuat di Lapas Nusakambangan sebelum Freddy dieksekusi. 
 
Beredar Informasi Testimoni Video Freddy Budiman
Freddy Budiman smile (tvOne)
 VIVA.co.id – Selain telah menceritakan mengenai keterlibatan penegakan hukum dalam peredaran narkoba, ada informasi bahwa Freddy Budiman juga membuat testimoni dengan rekaman video. Dari informasi yang beredar, video testimoni Freddy Budiman telah diserahkan kepada petugas Lapas Nusakambangan sebelum dia dieksekusi.
Masih dari informasi yang beredar, video itu sudah dipegang Kementerian Hukum HAM. Terkait hal itu, Ketua Tim Investigasi Mabes Polri, Komjen Dwi Priyatno tidak bersedia memberi penjelasan tentang kemungkinan adanya testimoni yang dibuat Freddy Budiman dalam bentuk video itu. Namun, setiap informasi tentu akan menjadi bahan penyelidikan.
"Kalau ada informasi apapun, tim itu terbuka untuk menerima informasi apapun. Ada seperti itu (video testimoni Freddy), kita tanyakan di Kemkumham," katanya.
Dwi Priyatno menambahkan, guna memastikan ada tidaknya video itu, tim akan segera melakukan koordinasi dengan Kemenkumham.
"Sudah pasti (diminta), kita koordinasi dulu dong. Informasi apapun kita dalami," katanya.
Menurut Dwi Priyatno, tim akan sangat terbuka bila ada pihak-pihak yang akan memberi informasi terkait kasus Freddy Budiman. Informasi apapun yang dapat membantu penyelidikan tentu akan didalami.
"Kita terbuka baik masyarakat atau intansi terkait ada  informasi apapun. Itu untuk membantu tim kita," katanya.

#FREDDY BUDIMAN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar