Bagaimana Pandangan Hukum Islam dalam Menemukan Peracun Kopi Mirna?
Oleh: Hafodhah silmi
(Aktovis Lembaga Dakwah Sekolah Kabupaten Magetan)
(Aktovis Lembaga Dakwah Sekolah Kabupaten Magetan)
Sahabat VOA-Islam...
Siapa sangka, minum kopi
bersama sahabat berakhir petaka. Baru menyesap satu sedotan es kopi
Vietnamese di kafe, Mirna merintih kesakitan. Ia mual dan kejang. Tak
lama kemudian, Mirna meninggal. Uji forensik sementara menduga ia
keracunan sianida.
Polisi masih bekerja keras
mengumpulkan alat bukti demi menemukan tersangka peracun maut kopi
Mirna. Direktur Reskrimum Polda Metro Jaya - Kombes Krishna Murti
menandaskan pentingnya investigasi ilmiah (scientific crime
investigation) dalam mengumpulkan alat bukti dan menemukan tersangka.
Islam memiliki pandangan
berbeda secara metodologis dalam hukum-hukum pembuktian, tidak
mendewakan metode saintifik dalam mendakwa / menuduh seseorang.
Hukum-hukum pembuktian (ahkam al-bayyinaat) menurut Islam adalah sama
seperti halnya hukum-hukum Islam yang lain, di mana ia merupakan
hukum-hukum syara' yang digali dari dalil-dalil yang bersifat
tafshiliyyah (terperinci).
Syeikh Ahmad ad-Daur
mendefinisikan bukti (al-baiyyinat) sebagai semua hal atau perkara yang
dapat membuktikan sesuatu dakwaan. Bukti juga merupakan hujah bagi orang
yang mendakwa atas dakwaannya. Islam menjelaskan bahawa al-baiyyinat
(bukti) itu terdiri dari 4 jenis yaitu:
(i) Pengakuan
(ii) Sumpah
(iii) Kesaksian
(iv) Dokumen-dokumen bertulis yang meyakinkan.
(ii) Sumpah
(iii) Kesaksian
(iv) Dokumen-dokumen bertulis yang meyakinkan.
Kesemua jenis baiyyinat
(bukti) yang telah disebutkan di atas adalah digali dari Al-Quran dan
juga As-Sunnah. Sedangkan indikasi (qarinah) yang bersumber dari sains
tidak dianggap (tidak termasuk) sebagai bagian dari pembuktian
(baiyyinat) yang syar'ie, meskipun indikasi itu bersifat qatie (pasti).
Sebab, tidak ada satu dalil/nash pun yang menunjukkan bahawa indikasi
(qarinah) merupakan baiyyinah yang syar'ie.
Jadi selama Jessica tidak
mengakui, dan tidak ada kesaksian yang memadai serta juga sumpah dan
dokumen tertulis maka tidak boleh menuduh atau mendakwa seseorang
sebagai peracun kopi Mirna. Untuk mengatakan/memasukkan sesuatu itu
sebagai baiyyinat (bukti), maka ia hendaklah berdasarkan dalil, bukannya
berdasarkan akal, apalagi jika semata mengandalkan metoda saintifik.
Pengakuan (al-iqrar) telah
ditetapkan sebagai salah satu metode pembuktian berdasarkan nash yg
jelas, yang tercantum di dalam Al-Quran dan juga Hadis. Rasulullah SAW
ketika bertanya tentang seorang jariyah (hamba perempuan) yang terbunuh,
siapakah yang telah membunuhnya, kemudian disebut nama si fulan dan si
fulan, yang mengisyaratkan kepada nama seorang Yahudi, baginda tidak
menetapkan ucapan itu sebagai "bukti" (baiyyinah) meskipun baginda tetap
melakukan penyelidikan terhadap lelaki Yahudi tersebut berdasarkan apa
yang didengarnya tadi.
Selanjutnya, lelaki Yahudi itu
dipanggil dan dia mengakuinya, maka Yahudi itu pun dibunuh (qisas).
Demikianlah Rasul Saw tetap menjadikan "pengakuan" sang Yahudi sebagai
pembuktian yang sah sementara informasi dan penyelidikan hanyalah
berposisi sebagai "indikasi" (qarinah)yang harus diselidiki terlebih
dahulu, dan tetap tidak boleh dijadikan sebagai bukti.
Upaya inilah yang di masa
sekarang disebut dengan cross examination (uji silang), yaitu mengajukan
bermacam-macam pertanyaan kepada tertuduh, oleh beberapa pemeriksa
sekaligus jika diperlukan, sehingga tertuduh akan mengaku secara
sukarela, karena tak bisa mengelak lagi mengingat setiap jawaban akan
selalu diuji silang dengan jawaban lain sehingga kalau berbohong akan
jelas sekali kontradiksi dan inkonsistensinya. (M. Abdullah al-Masari,
Huquq al-Muttaham fi Al-Islam, hal. 18)
Demikianlah meski bukan
termasuk metode pembuktian dalam Islam, pendekatan saintifik (seperti
hasil laboratorium forensik) boleh dimanfaatkan sebagai upaya memperoleh
pengakuan (al-iqrar) dari para tertuduh. Hal tersebut dibolehkan,
selama cara yang digunakan memperoleh pengakuan tidak dilakukan dengan
paksaan (al-ikrah), baik paksaan fisik (seperti pukulan) maupun non
fisik (seperti ancaman). Sebab syarat terpenting dari pengakuan adalah
ikhtiyar (tidak adanya paksaan). (M. Abdullah Al-Masari, Huquq
al-Muttaham fi Al-Islam, hal. 12).
Namun yang tidak boleh adalah
mengutamakan bukti-bukti saintifik untuk mendakwa seseorang, ini salah
dari sisi Islam dan merupakan suatu kezaliman. Ahkamul bayyinat
(hukum-hukum pembuktian) di dalam Islam telah jelas dan sempurna sejak
zaman Rasulullah dan tidak boleh diubah karena sains dan teknologi.
Ini bukan bermakna bahwa Islam
menolak sains tetapi sains lah yang musti digunakan bersesuian dengan
Islam. Walaupun terbukti bahawa sains banyak membantu dan amat
bermanfaat untuk manusia, tetapi sains hendaklah tunduk kepada Islam,
bukannya Islam yang tunduk kepada sains.
Dalam sains itu sendiri masih
mungkin terjadi kekeliruan dan ketidakpastian. Justru, menghukum
seseorangb berdasarkan sains, selain menyalahi hukum syarak, akan
menyebabkan kezaliman kepada si tertuduh. [syahid/voa-islam.com]
-
See more at:
http://www.voa-islam.com/read/citizens-jurnalism/2016/02/14/42262/bagaimana-pandangan-hukum-islam-dalam-menemukan-peracun-kopi-mirna/#sthash.zC4AEqTn.dpufBagaimana Pandangan Hukum Islam dalam Menemukan Peracun Kopi Mirna?
Oleh: Hafodhah silmi
(Aktovis Lembaga Dakwah Sekolah Kabupaten Magetan)
(Aktovis Lembaga Dakwah Sekolah Kabupaten Magetan)
Sahabat VOA-Islam...
Siapa sangka, minum kopi
bersama sahabat berakhir petaka. Baru menyesap satu sedotan es kopi
Vietnamese di kafe, Mirna merintih kesakitan. Ia mual dan kejang. Tak
lama kemudian, Mirna meninggal. Uji forensik sementara menduga ia
keracunan sianida.
Polisi masih bekerja keras
mengumpulkan alat bukti demi menemukan tersangka peracun maut kopi
Mirna. Direktur Reskrimum Polda Metro Jaya - Kombes Krishna Murti
menandaskan pentingnya investigasi ilmiah (scientific crime
investigation) dalam mengumpulkan alat bukti dan menemukan tersangka.
Islam memiliki pandangan
berbeda secara metodologis dalam hukum-hukum pembuktian, tidak
mendewakan metode saintifik dalam mendakwa / menuduh seseorang.
Hukum-hukum pembuktian (ahkam al-bayyinaat) menurut Islam adalah sama
seperti halnya hukum-hukum Islam yang lain, di mana ia merupakan
hukum-hukum syara' yang digali dari dalil-dalil yang bersifat
tafshiliyyah (terperinci).
Syeikh Ahmad ad-Daur
mendefinisikan bukti (al-baiyyinat) sebagai semua hal atau perkara yang
dapat membuktikan sesuatu dakwaan. Bukti juga merupakan hujah bagi orang
yang mendakwa atas dakwaannya. Islam menjelaskan bahawa al-baiyyinat
(bukti) itu terdiri dari 4 jenis yaitu:
(i) Pengakuan
(ii) Sumpah
(iii) Kesaksian
(iv) Dokumen-dokumen bertulis yang meyakinkan.
(ii) Sumpah
(iii) Kesaksian
(iv) Dokumen-dokumen bertulis yang meyakinkan.
Kesemua jenis baiyyinat
(bukti) yang telah disebutkan di atas adalah digali dari Al-Quran dan
juga As-Sunnah. Sedangkan indikasi (qarinah) yang bersumber dari sains
tidak dianggap (tidak termasuk) sebagai bagian dari pembuktian
(baiyyinat) yang syar'ie, meskipun indikasi itu bersifat qatie (pasti).
Sebab, tidak ada satu dalil/nash pun yang menunjukkan bahawa indikasi
(qarinah) merupakan baiyyinah yang syar'ie.
Jadi selama Jessica tidak
mengakui, dan tidak ada kesaksian yang memadai serta juga sumpah dan
dokumen tertulis maka tidak boleh menuduh atau mendakwa seseorang
sebagai peracun kopi Mirna. Untuk mengatakan/memasukkan sesuatu itu
sebagai baiyyinat (bukti), maka ia hendaklah berdasarkan dalil, bukannya
berdasarkan akal, apalagi jika semata mengandalkan metoda saintifik.
Pengakuan (al-iqrar) telah
ditetapkan sebagai salah satu metode pembuktian berdasarkan nash yg
jelas, yang tercantum di dalam Al-Quran dan juga Hadis. Rasulullah SAW
ketika bertanya tentang seorang jariyah (hamba perempuan) yang terbunuh,
siapakah yang telah membunuhnya, kemudian disebut nama si fulan dan si
fulan, yang mengisyaratkan kepada nama seorang Yahudi, baginda tidak
menetapkan ucapan itu sebagai "bukti" (baiyyinah) meskipun baginda tetap
melakukan penyelidikan terhadap lelaki Yahudi tersebut berdasarkan apa
yang didengarnya tadi.
Selanjutnya, lelaki Yahudi itu
dipanggil dan dia mengakuinya, maka Yahudi itu pun dibunuh (qisas).
Demikianlah Rasul Saw tetap menjadikan "pengakuan" sang Yahudi sebagai
pembuktian yang sah sementara informasi dan penyelidikan hanyalah
berposisi sebagai "indikasi" (qarinah)yang harus diselidiki terlebih
dahulu, dan tetap tidak boleh dijadikan sebagai bukti.
Upaya inilah yang di masa
sekarang disebut dengan cross examination (uji silang), yaitu mengajukan
bermacam-macam pertanyaan kepada tertuduh, oleh beberapa pemeriksa
sekaligus jika diperlukan, sehingga tertuduh akan mengaku secara
sukarela, karena tak bisa mengelak lagi mengingat setiap jawaban akan
selalu diuji silang dengan jawaban lain sehingga kalau berbohong akan
jelas sekali kontradiksi dan inkonsistensinya. (M. Abdullah al-Masari,
Huquq al-Muttaham fi Al-Islam, hal. 18)
Demikianlah meski bukan
termasuk metode pembuktian dalam Islam, pendekatan saintifik (seperti
hasil laboratorium forensik) boleh dimanfaatkan sebagai upaya memperoleh
pengakuan (al-iqrar) dari para tertuduh. Hal tersebut dibolehkan,
selama cara yang digunakan memperoleh pengakuan tidak dilakukan dengan
paksaan (al-ikrah), baik paksaan fisik (seperti pukulan) maupun non
fisik (seperti ancaman). Sebab syarat terpenting dari pengakuan adalah
ikhtiyar (tidak adanya paksaan). (M. Abdullah Al-Masari, Huquq
al-Muttaham fi Al-Islam, hal. 12).
Namun yang tidak boleh adalah
mengutamakan bukti-bukti saintifik untuk mendakwa seseorang, ini salah
dari sisi Islam dan merupakan suatu kezaliman. Ahkamul bayyinat
(hukum-hukum pembuktian) di dalam Islam telah jelas dan sempurna sejak
zaman Rasulullah dan tidak boleh diubah karena sains dan teknologi.
Ini bukan bermakna bahwa Islam
menolak sains tetapi sains lah yang musti digunakan bersesuian dengan
Islam. Walaupun terbukti bahawa sains banyak membantu dan amat
bermanfaat untuk manusia, tetapi sains hendaklah tunduk kepada Islam,
bukannya Islam yang tunduk kepada sains.
Dalam sains itu sendiri masih
mungkin terjadi kekeliruan dan ketidakpastian. Justru, menghukum
seseorangb berdasarkan sains, selain menyalahi hukum syarak, akan
menyebabkan kezaliman kepada si tertuduh. [syahid/voa-islam.com]
-
See more at:
http://www.voa-islam.com/read/citizens-jurnalism/2016/02/14/42262/bagaimana-pandangan-hukum-islam-dalam-menemukan-peracun-kopi-mirna/#sthash.zC4AEqTn.dpufBagaimana Pandangan Hukum Islam dalam Menemukan Peracun Kopi Mirna?
Oleh: Hafodhah silmi
(Aktovis Lembaga Dakwah Sekolah Kabupaten Magetan)
(Aktovis Lembaga Dakwah Sekolah Kabupaten Magetan)
Sahabat VOA-Islam...
Siapa sangka, minum kopi
bersama sahabat berakhir petaka. Baru menyesap satu sedotan es kopi
Vietnamese di kafe, Mirna merintih kesakitan. Ia mual dan kejang. Tak
lama kemudian, Mirna meninggal. Uji forensik sementara menduga ia
keracunan sianida.
Polisi masih bekerja keras
mengumpulkan alat bukti demi menemukan tersangka peracun maut kopi
Mirna. Direktur Reskrimum Polda Metro Jaya - Kombes Krishna Murti
menandaskan pentingnya investigasi ilmiah (scientific crime
investigation) dalam mengumpulkan alat bukti dan menemukan tersangka.
Islam memiliki pandangan
berbeda secara metodologis dalam hukum-hukum pembuktian, tidak
mendewakan metode saintifik dalam mendakwa / menuduh seseorang.
Hukum-hukum pembuktian (ahkam al-bayyinaat) menurut Islam adalah sama
seperti halnya hukum-hukum Islam yang lain, di mana ia merupakan
hukum-hukum syara' yang digali dari dalil-dalil yang bersifat
tafshiliyyah (terperinci).
Syeikh Ahmad ad-Daur
mendefinisikan bukti (al-baiyyinat) sebagai semua hal atau perkara yang
dapat membuktikan sesuatu dakwaan. Bukti juga merupakan hujah bagi orang
yang mendakwa atas dakwaannya. Islam menjelaskan bahawa al-baiyyinat
(bukti) itu terdiri dari 4 jenis yaitu:
(i) Pengakuan
(ii) Sumpah
(iii) Kesaksian
(iv) Dokumen-dokumen bertulis yang meyakinkan.
(ii) Sumpah
(iii) Kesaksian
(iv) Dokumen-dokumen bertulis yang meyakinkan.
Kesemua jenis baiyyinat
(bukti) yang telah disebutkan di atas adalah digali dari Al-Quran dan
juga As-Sunnah. Sedangkan indikasi (qarinah) yang bersumber dari sains
tidak dianggap (tidak termasuk) sebagai bagian dari pembuktian
(baiyyinat) yang syar'ie, meskipun indikasi itu bersifat qatie (pasti).
Sebab, tidak ada satu dalil/nash pun yang menunjukkan bahawa indikasi
(qarinah) merupakan baiyyinah yang syar'ie.
Jadi selama Jessica tidak
mengakui, dan tidak ada kesaksian yang memadai serta juga sumpah dan
dokumen tertulis maka tidak boleh menuduh atau mendakwa seseorang
sebagai peracun kopi Mirna. Untuk mengatakan/memasukkan sesuatu itu
sebagai baiyyinat (bukti), maka ia hendaklah berdasarkan dalil, bukannya
berdasarkan akal, apalagi jika semata mengandalkan metoda saintifik.
Pengakuan (al-iqrar) telah
ditetapkan sebagai salah satu metode pembuktian berdasarkan nash yg
jelas, yang tercantum di dalam Al-Quran dan juga Hadis. Rasulullah SAW
ketika bertanya tentang seorang jariyah (hamba perempuan) yang terbunuh,
siapakah yang telah membunuhnya, kemudian disebut nama si fulan dan si
fulan, yang mengisyaratkan kepada nama seorang Yahudi, baginda tidak
menetapkan ucapan itu sebagai "bukti" (baiyyinah) meskipun baginda tetap
melakukan penyelidikan terhadap lelaki Yahudi tersebut berdasarkan apa
yang didengarnya tadi.
Selanjutnya, lelaki Yahudi itu
dipanggil dan dia mengakuinya, maka Yahudi itu pun dibunuh (qisas).
Demikianlah Rasul Saw tetap menjadikan "pengakuan" sang Yahudi sebagai
pembuktian yang sah sementara informasi dan penyelidikan hanyalah
berposisi sebagai "indikasi" (qarinah)yang harus diselidiki terlebih
dahulu, dan tetap tidak boleh dijadikan sebagai bukti.
Upaya inilah yang di masa
sekarang disebut dengan cross examination (uji silang), yaitu mengajukan
bermacam-macam pertanyaan kepada tertuduh, oleh beberapa pemeriksa
sekaligus jika diperlukan, sehingga tertuduh akan mengaku secara
sukarela, karena tak bisa mengelak lagi mengingat setiap jawaban akan
selalu diuji silang dengan jawaban lain sehingga kalau berbohong akan
jelas sekali kontradiksi dan inkonsistensinya. (M. Abdullah al-Masari,
Huquq al-Muttaham fi Al-Islam, hal. 18)
Demikianlah meski bukan
termasuk metode pembuktian dalam Islam, pendekatan saintifik (seperti
hasil laboratorium forensik) boleh dimanfaatkan sebagai upaya memperoleh
pengakuan (al-iqrar) dari para tertuduh. Hal tersebut dibolehkan,
selama cara yang digunakan memperoleh pengakuan tidak dilakukan dengan
paksaan (al-ikrah), baik paksaan fisik (seperti pukulan) maupun non
fisik (seperti ancaman). Sebab syarat terpenting dari pengakuan adalah
ikhtiyar (tidak adanya paksaan). (M. Abdullah Al-Masari, Huquq
al-Muttaham fi Al-Islam, hal. 12).
Namun yang tidak boleh adalah
mengutamakan bukti-bukti saintifik untuk mendakwa seseorang, ini salah
dari sisi Islam dan merupakan suatu kezaliman. Ahkamul bayyinat
(hukum-hukum pembuktian) di dalam Islam telah jelas dan sempurna sejak
zaman Rasulullah dan tidak boleh diubah karena sains dan teknologi.
Ini bukan bermakna bahwa Islam
menolak sains tetapi sains lah yang musti digunakan bersesuian dengan
Islam. Walaupun terbukti bahawa sains banyak membantu dan amat
bermanfaat untuk manusia, tetapi sains hendaklah tunduk kepada Islam,
bukannya Islam yang tunduk kepada sains.
Dalam sains itu sendiri masih
mungkin terjadi kekeliruan dan ketidakpastian. Justru, menghukum
seseorangb berdasarkan sains, selain menyalahi hukum syarak, akan
menyebabkan kezaliman kepada si tertuduh. [syahid/voa-islam.com]
-
See more at:
http://www.voa-islam.com/read/citizens-jurnalism/2016/02/14/42262/bagaimana-pandangan-hukum-islam-dalam-menemukan-peracun-kopi-mirna/#sthash.zC4AEqTn.dpufBagaimana Pandangan Hukum Islam dalam Menemukan Peracun Kopi Mirna?
Oleh: Hafodhah silmi
(Aktovis Lembaga Dakwah Sekolah Kabupaten Magetan)
(Aktovis Lembaga Dakwah Sekolah Kabupaten Magetan)
Sahabat VOA-Islam...
Siapa sangka, minum kopi
bersama sahabat berakhir petaka. Baru menyesap satu sedotan es kopi
Vietnamese di kafe, Mirna merintih kesakitan. Ia mual dan kejang. Tak
lama kemudian, Mirna meninggal. Uji forensik sementara menduga ia
keracunan sianida.
Polisi masih bekerja keras
mengumpulkan alat bukti demi menemukan tersangka peracun maut kopi
Mirna. Direktur Reskrimum Polda Metro Jaya - Kombes Krishna Murti
menandaskan pentingnya investigasi ilmiah (scientific crime
investigation) dalam mengumpulkan alat bukti dan menemukan tersangka.
Islam memiliki pandangan
berbeda secara metodologis dalam hukum-hukum pembuktian, tidak
mendewakan metode saintifik dalam mendakwa / menuduh seseorang.
Hukum-hukum pembuktian (ahkam al-bayyinaat) menurut Islam adalah sama
seperti halnya hukum-hukum Islam yang lain, di mana ia merupakan
hukum-hukum syara' yang digali dari dalil-dalil yang bersifat
tafshiliyyah (terperinci).
Syeikh Ahmad ad-Daur
mendefinisikan bukti (al-baiyyinat) sebagai semua hal atau perkara yang
dapat membuktikan sesuatu dakwaan. Bukti juga merupakan hujah bagi orang
yang mendakwa atas dakwaannya. Islam menjelaskan bahawa al-baiyyinat
(bukti) itu terdiri dari 4 jenis yaitu:
(i) Pengakuan
(ii) Sumpah
(iii) Kesaksian
(iv) Dokumen-dokumen bertulis yang meyakinkan.
(ii) Sumpah
(iii) Kesaksian
(iv) Dokumen-dokumen bertulis yang meyakinkan.
Kesemua jenis baiyyinat
(bukti) yang telah disebutkan di atas adalah digali dari Al-Quran dan
juga As-Sunnah. Sedangkan indikasi (qarinah) yang bersumber dari sains
tidak dianggap (tidak termasuk) sebagai bagian dari pembuktian
(baiyyinat) yang syar'ie, meskipun indikasi itu bersifat qatie (pasti).
Sebab, tidak ada satu dalil/nash pun yang menunjukkan bahawa indikasi
(qarinah) merupakan baiyyinah yang syar'ie.
Jadi selama Jessica tidak
mengakui, dan tidak ada kesaksian yang memadai serta juga sumpah dan
dokumen tertulis maka tidak boleh menuduh atau mendakwa seseorang
sebagai peracun kopi Mirna. Untuk mengatakan/memasukkan sesuatu itu
sebagai baiyyinat (bukti), maka ia hendaklah berdasarkan dalil, bukannya
berdasarkan akal, apalagi jika semata mengandalkan metoda saintifik.
Pengakuan (al-iqrar) telah
ditetapkan sebagai salah satu metode pembuktian berdasarkan nash yg
jelas, yang tercantum di dalam Al-Quran dan juga Hadis. Rasulullah SAW
ketika bertanya tentang seorang jariyah (hamba perempuan) yang terbunuh,
siapakah yang telah membunuhnya, kemudian disebut nama si fulan dan si
fulan, yang mengisyaratkan kepada nama seorang Yahudi, baginda tidak
menetapkan ucapan itu sebagai "bukti" (baiyyinah) meskipun baginda tetap
melakukan penyelidikan terhadap lelaki Yahudi tersebut berdasarkan apa
yang didengarnya tadi.
Selanjutnya, lelaki Yahudi itu
dipanggil dan dia mengakuinya, maka Yahudi itu pun dibunuh (qisas).
Demikianlah Rasul Saw tetap menjadikan "pengakuan" sang Yahudi sebagai
pembuktian yang sah sementara informasi dan penyelidikan hanyalah
berposisi sebagai "indikasi" (qarinah)yang harus diselidiki terlebih
dahulu, dan tetap tidak boleh dijadikan sebagai bukti.
Upaya inilah yang di masa
sekarang disebut dengan cross examination (uji silang), yaitu mengajukan
bermacam-macam pertanyaan kepada tertuduh, oleh beberapa pemeriksa
sekaligus jika diperlukan, sehingga tertuduh akan mengaku secara
sukarela, karena tak bisa mengelak lagi mengingat setiap jawaban akan
selalu diuji silang dengan jawaban lain sehingga kalau berbohong akan
jelas sekali kontradiksi dan inkonsistensinya. (M. Abdullah al-Masari,
Huquq al-Muttaham fi Al-Islam, hal. 18)
Demikianlah meski bukan
termasuk metode pembuktian dalam Islam, pendekatan saintifik (seperti
hasil laboratorium forensik) boleh dimanfaatkan sebagai upaya memperoleh
pengakuan (al-iqrar) dari para tertuduh. Hal tersebut dibolehkan,
selama cara yang digunakan memperoleh pengakuan tidak dilakukan dengan
paksaan (al-ikrah), baik paksaan fisik (seperti pukulan) maupun non
fisik (seperti ancaman). Sebab syarat terpenting dari pengakuan adalah
ikhtiyar (tidak adanya paksaan). (M. Abdullah Al-Masari, Huquq
al-Muttaham fi Al-Islam, hal. 12).
Namun yang tidak boleh adalah
mengutamakan bukti-bukti saintifik untuk mendakwa seseorang, ini salah
dari sisi Islam dan merupakan suatu kezaliman. Ahkamul bayyinat
(hukum-hukum pembuktian) di dalam Islam telah jelas dan sempurna sejak
zaman Rasulullah dan tidak boleh diubah karena sains dan teknologi.
Ini bukan bermakna bahwa Islam
menolak sains tetapi sains lah yang musti digunakan bersesuian dengan
Islam. Walaupun terbukti bahawa sains banyak membantu dan amat
bermanfaat untuk manusia, tetapi sains hendaklah tunduk kepada Islam,
bukannya Islam yang tunduk kepada sains.
Dalam sains itu sendiri masih
mungkin terjadi kekeliruan dan ketidakpastian. Justru, menghukum
seseorangb berdasarkan sains, selain menyalahi hukum syarak, akan
menyebabkan kezaliman kepada si tertuduh. [syahid/voa-islam.com]
-
See more at:
http://www.voa-islam.com/read/citizens-jurnalism/2016/02/14/42262/bagaimana-pandangan-hukum-islam-dalam-menemukan-peracun-kopi-mirna/#sthash.zC4AEqTn.dpufBagaimana Pandangan Hukum Islam dalam Menemukan Peracun Kopi Mirna?
Oleh: Hafodhah silmi
(Aktovis Lembaga Dakwah Sekolah Kabupaten Magetan)
(Aktovis Lembaga Dakwah Sekolah Kabupaten Magetan)
Sahabat VOA-Islam...
Siapa sangka, minum kopi
bersama sahabat berakhir petaka. Baru menyesap satu sedotan es kopi
Vietnamese di kafe, Mirna merintih kesakitan. Ia mual dan kejang. Tak
lama kemudian, Mirna meninggal. Uji forensik sementara menduga ia
keracunan sianida.
Polisi masih bekerja keras
mengumpulkan alat bukti demi menemukan tersangka peracun maut kopi
Mirna. Direktur Reskrimum Polda Metro Jaya - Kombes Krishna Murti
menandaskan pentingnya investigasi ilmiah (scientific crime
investigation) dalam mengumpulkan alat bukti dan menemukan tersangka.
Islam memiliki pandangan
berbeda secara metodologis dalam hukum-hukum pembuktian, tidak
mendewakan metode saintifik dalam mendakwa / menuduh seseorang.
Hukum-hukum pembuktian (ahkam al-bayyinaat) menurut Islam adalah sama
seperti halnya hukum-hukum Islam yang lain, di mana ia merupakan
hukum-hukum syara' yang digali dari dalil-dalil yang bersifat
tafshiliyyah (terperinci).
Syeikh Ahmad ad-Daur
mendefinisikan bukti (al-baiyyinat) sebagai semua hal atau perkara yang
dapat membuktikan sesuatu dakwaan. Bukti juga merupakan hujah bagi orang
yang mendakwa atas dakwaannya. Islam menjelaskan bahawa al-baiyyinat
(bukti) itu terdiri dari 4 jenis yaitu:
(i) Pengakuan
(ii) Sumpah
(iii) Kesaksian
(iv) Dokumen-dokumen bertulis yang meyakinkan.
(ii) Sumpah
(iii) Kesaksian
(iv) Dokumen-dokumen bertulis yang meyakinkan.
Kesemua jenis baiyyinat
(bukti) yang telah disebutkan di atas adalah digali dari Al-Quran dan
juga As-Sunnah. Sedangkan indikasi (qarinah) yang bersumber dari sains
tidak dianggap (tidak termasuk) sebagai bagian dari pembuktian
(baiyyinat) yang syar'ie, meskipun indikasi itu bersifat qatie (pasti).
Sebab, tidak ada satu dalil/nash pun yang menunjukkan bahawa indikasi
(qarinah) merupakan baiyyinah yang syar'ie.
Jadi selama Jessica tidak
mengakui, dan tidak ada kesaksian yang memadai serta juga sumpah dan
dokumen tertulis maka tidak boleh menuduh atau mendakwa seseorang
sebagai peracun kopi Mirna. Untuk mengatakan/memasukkan sesuatu itu
sebagai baiyyinat (bukti), maka ia hendaklah berdasarkan dalil, bukannya
berdasarkan akal, apalagi jika semata mengandalkan metoda saintifik.
Pengakuan (al-iqrar) telah
ditetapkan sebagai salah satu metode pembuktian berdasarkan nash yg
jelas, yang tercantum di dalam Al-Quran dan juga Hadis. Rasulullah SAW
ketika bertanya tentang seorang jariyah (hamba perempuan) yang terbunuh,
siapakah yang telah membunuhnya, kemudian disebut nama si fulan dan si
fulan, yang mengisyaratkan kepada nama seorang Yahudi, baginda tidak
menetapkan ucapan itu sebagai "bukti" (baiyyinah) meskipun baginda tetap
melakukan penyelidikan terhadap lelaki Yahudi tersebut berdasarkan apa
yang didengarnya tadi.
Selanjutnya, lelaki Yahudi itu
dipanggil dan dia mengakuinya, maka Yahudi itu pun dibunuh (qisas).
Demikianlah Rasul Saw tetap menjadikan "pengakuan" sang Yahudi sebagai
pembuktian yang sah sementara informasi dan penyelidikan hanyalah
berposisi sebagai "indikasi" (qarinah)yang harus diselidiki terlebih
dahulu, dan tetap tidak boleh dijadikan sebagai bukti.
Upaya inilah yang di masa
sekarang disebut dengan cross examination (uji silang), yaitu mengajukan
bermacam-macam pertanyaan kepada tertuduh, oleh beberapa pemeriksa
sekaligus jika diperlukan, sehingga tertuduh akan mengaku secara
sukarela, karena tak bisa mengelak lagi mengingat setiap jawaban akan
selalu diuji silang dengan jawaban lain sehingga kalau berbohong akan
jelas sekali kontradiksi dan inkonsistensinya. (M. Abdullah al-Masari,
Huquq al-Muttaham fi Al-Islam, hal. 18)
Demikianlah meski bukan
termasuk metode pembuktian dalam Islam, pendekatan saintifik (seperti
hasil laboratorium forensik) boleh dimanfaatkan sebagai upaya memperoleh
pengakuan (al-iqrar) dari para tertuduh. Hal tersebut dibolehkan,
selama cara yang digunakan memperoleh pengakuan tidak dilakukan dengan
paksaan (al-ikrah), baik paksaan fisik (seperti pukulan) maupun non
fisik (seperti ancaman). Sebab syarat terpenting dari pengakuan adalah
ikhtiyar (tidak adanya paksaan). (M. Abdullah Al-Masari, Huquq
al-Muttaham fi Al-Islam, hal. 12).
Namun yang tidak boleh adalah
mengutamakan bukti-bukti saintifik untuk mendakwa seseorang, ini salah
dari sisi Islam dan merupakan suatu kezaliman. Ahkamul bayyinat
(hukum-hukum pembuktian) di dalam Islam telah jelas dan sempurna sejak
zaman Rasulullah dan tidak boleh diubah karena sains dan teknologi.
Ini bukan bermakna bahwa Islam
menolak sains tetapi sains lah yang musti digunakan bersesuian dengan
Islam. Walaupun terbukti bahawa sains banyak membantu dan amat
bermanfaat untuk manusia, tetapi sains hendaklah tunduk kepada Islam,
bukannya Islam yang tunduk kepada sains.
Dalam sains itu sendiri masih
mungkin terjadi kekeliruan dan ketidakpastian. Justru, menghukum
seseorangb berdasarkan sains, selain menyalahi hukum syarak, akan
menyebabkan kezaliman kepada si tertuduh. [syahid/voa-islam.com]
-
See more at:
http://www.voa-islam.com/read/citizens-jurnalism/2016/02/14/42262/bagaimana-pandangan-hukum-islam-dalam-menemukan-peracun-kopi-mirna/#sthash.zC4AEqTn.dpufBagaimana Pandangan Hukum Islam dalam Menemukan Peracun Kopi Mirna?
Oleh: Hafodhah silmi
(Aktovis Lembaga Dakwah Sekolah Kabupaten Magetan)
(Aktovis Lembaga Dakwah Sekolah Kabupaten Magetan)
Sahabat VOA-Islam...
Siapa sangka, minum kopi
bersama sahabat berakhir petaka. Baru menyesap satu sedotan es kopi
Vietnamese di kafe, Mirna merintih kesakitan. Ia mual dan kejang. Tak
lama kemudian, Mirna meninggal. Uji forensik sementara menduga ia
keracunan sianida.
Polisi masih bekerja keras
mengumpulkan alat bukti demi menemukan tersangka peracun maut kopi
Mirna. Direktur Reskrimum Polda Metro Jaya - Kombes Krishna Murti
menandaskan pentingnya investigasi ilmiah (scientific crime
investigation) dalam mengumpulkan alat bukti dan menemukan tersangka.
Islam memiliki pandangan
berbeda secara metodologis dalam hukum-hukum pembuktian, tidak
mendewakan metode saintifik dalam mendakwa / menuduh seseorang.
Hukum-hukum pembuktian (ahkam al-bayyinaat) menurut Islam adalah sama
seperti halnya hukum-hukum Islam yang lain, di mana ia merupakan
hukum-hukum syara' yang digali dari dalil-dalil yang bersifat
tafshiliyyah (terperinci).
Syeikh Ahmad ad-Daur
mendefinisikan bukti (al-baiyyinat) sebagai semua hal atau perkara yang
dapat membuktikan sesuatu dakwaan. Bukti juga merupakan hujah bagi orang
yang mendakwa atas dakwaannya. Islam menjelaskan bahawa al-baiyyinat
(bukti) itu terdiri dari 4 jenis yaitu:
(i) Pengakuan
(ii) Sumpah
(iii) Kesaksian
(iv) Dokumen-dokumen bertulis yang meyakinkan.
(ii) Sumpah
(iii) Kesaksian
(iv) Dokumen-dokumen bertulis yang meyakinkan.
Kesemua jenis baiyyinat
(bukti) yang telah disebutkan di atas adalah digali dari Al-Quran dan
juga As-Sunnah. Sedangkan indikasi (qarinah) yang bersumber dari sains
tidak dianggap (tidak termasuk) sebagai bagian dari pembuktian
(baiyyinat) yang syar'ie, meskipun indikasi itu bersifat qatie (pasti).
Sebab, tidak ada satu dalil/nash pun yang menunjukkan bahawa indikasi
(qarinah) merupakan baiyyinah yang syar'ie.
Jadi selama Jessica tidak
mengakui, dan tidak ada kesaksian yang memadai serta juga sumpah dan
dokumen tertulis maka tidak boleh menuduh atau mendakwa seseorang
sebagai peracun kopi Mirna. Untuk mengatakan/memasukkan sesuatu itu
sebagai baiyyinat (bukti), maka ia hendaklah berdasarkan dalil, bukannya
berdasarkan akal, apalagi jika semata mengandalkan metoda saintifik.
Pengakuan (al-iqrar) telah
ditetapkan sebagai salah satu metode pembuktian berdasarkan nash yg
jelas, yang tercantum di dalam Al-Quran dan juga Hadis. Rasulullah SAW
ketika bertanya tentang seorang jariyah (hamba perempuan) yang terbunuh,
siapakah yang telah membunuhnya, kemudian disebut nama si fulan dan si
fulan, yang mengisyaratkan kepada nama seorang Yahudi, baginda tidak
menetapkan ucapan itu sebagai "bukti" (baiyyinah) meskipun baginda tetap
melakukan penyelidikan terhadap lelaki Yahudi tersebut berdasarkan apa
yang didengarnya tadi.
Selanjutnya, lelaki Yahudi itu
dipanggil dan dia mengakuinya, maka Yahudi itu pun dibunuh (qisas).
Demikianlah Rasul Saw tetap menjadikan "pengakuan" sang Yahudi sebagai
pembuktian yang sah sementara informasi dan penyelidikan hanyalah
berposisi sebagai "indikasi" (qarinah)yang harus diselidiki terlebih
dahulu, dan tetap tidak boleh dijadikan sebagai bukti.
Upaya inilah yang di masa
sekarang disebut dengan cross examination (uji silang), yaitu mengajukan
bermacam-macam pertanyaan kepada tertuduh, oleh beberapa pemeriksa
sekaligus jika diperlukan, sehingga tertuduh akan mengaku secara
sukarela, karena tak bisa mengelak lagi mengingat setiap jawaban akan
selalu diuji silang dengan jawaban lain sehingga kalau berbohong akan
jelas sekali kontradiksi dan inkonsistensinya. (M. Abdullah al-Masari,
Huquq al-Muttaham fi Al-Islam, hal. 18)
Demikianlah meski bukan
termasuk metode pembuktian dalam Islam, pendekatan saintifik (seperti
hasil laboratorium forensik) boleh dimanfaatkan sebagai upaya memperoleh
pengakuan (al-iqrar) dari para tertuduh. Hal tersebut dibolehkan,
selama cara yang digunakan memperoleh pengakuan tidak dilakukan dengan
paksaan (al-ikrah), baik paksaan fisik (seperti pukulan) maupun non
fisik (seperti ancaman). Sebab syarat terpenting dari pengakuan adalah
ikhtiyar (tidak adanya paksaan). (M. Abdullah Al-Masari, Huquq
al-Muttaham fi Al-Islam, hal. 12).
Namun yang tidak boleh adalah
mengutamakan bukti-bukti saintifik untuk mendakwa seseorang, ini salah
dari sisi Islam dan merupakan suatu kezaliman. Ahkamul bayyinat
(hukum-hukum pembuktian) di dalam Islam telah jelas dan sempurna sejak
zaman Rasulullah dan tidak boleh diubah karena sains dan teknologi.
Ini bukan bermakna bahwa Islam
menolak sains tetapi sains lah yang musti digunakan bersesuian dengan
Islam. Walaupun terbukti bahawa sains banyak membantu dan amat
bermanfaat untuk manusia, tetapi sains hendaklah tunduk kepada Islam,
bukannya Islam yang tunduk kepada sains.
Dalam sains itu sendiri masih
mungkin terjadi kekeliruan dan ketidakpastian. Justru, menghukum
seseorangb berdasarkan sains, selain menyalahi hukum syarak, akan
menyebabkan kezaliman kepada si tertuduh. [syahid/voa-islam.com]
-
See more at:
http://www.voa-islam.com/read/citizens-jurnalism/2016/02/14/42262/bagaimana-pandangan-hukum-islam-dalam-menemukan-peracun-kopi-mirna/#sthash.zC4AEqTn.dpuf
Siapa
sangka, minum kopi bersama sahabat berakhir petaka. Baru menyesap satu
sedotan es kopi - See more at:
http://www.voa-islam.com/read/citizens-jurnalism/2016/02/14/42262/bagaimana-pandangan-hukum-islam-dalam-menemukan-peracun-kopi-mirna/#sthash.zC4AEqTn.dpuf
Bagaimana Pandangan Hukum Islam dalam Menemukan Peracun Kopi Mirna?
Oleh: Hafodhah silmi
(Aktovis Lembaga Dakwah Sekolah Kabupaten Magetan)
(Aktovis Lembaga Dakwah Sekolah Kabupaten Magetan)
Sahabat VOA-Islam...
Siapa sangka, minum kopi
bersama sahabat berakhir petaka. Baru menyesap satu sedotan es kopi
Vietnamese di kafe, Mirna merintih kesakitan. Ia mual dan kejang. Tak
lama kemudian, Mirna meninggal. Uji forensik sementara menduga ia
keracunan sianida.
Polisi masih bekerja keras
mengumpulkan alat bukti demi menemukan tersangka peracun maut kopi
Mirna. Direktur Reskrimum Polda Metro Jaya - Kombes Krishna Murti
menandaskan pentingnya investigasi ilmiah (scientific crime
investigation) dalam mengumpulkan alat bukti dan menemukan tersangka.
Islam memiliki pandangan
berbeda secara metodologis dalam hukum-hukum pembuktian, tidak
mendewakan metode saintifik dalam mendakwa / menuduh seseorang.
Hukum-hukum pembuktian (ahkam al-bayyinaat) menurut Islam adalah sama
seperti halnya hukum-hukum Islam yang lain, di mana ia merupakan
hukum-hukum syara' yang digali dari dalil-dalil yang bersifat
tafshiliyyah (terperinci).
Syeikh Ahmad ad-Daur
mendefinisikan bukti (al-baiyyinat) sebagai semua hal atau perkara yang
dapat membuktikan sesuatu dakwaan. Bukti juga merupakan hujah bagi orang
yang mendakwa atas dakwaannya. Islam menjelaskan bahawa al-baiyyinat
(bukti) itu terdiri dari 4 jenis yaitu:
(i) Pengakuan
(ii) Sumpah
(iii) Kesaksian
(iv) Dokumen-dokumen bertulis yang meyakinkan.
(ii) Sumpah
(iii) Kesaksian
(iv) Dokumen-dokumen bertulis yang meyakinkan.
Kesemua jenis baiyyinat
(bukti) yang telah disebutkan di atas adalah digali dari Al-Quran dan
juga As-Sunnah. Sedangkan indikasi (qarinah) yang bersumber dari sains
tidak dianggap (tidak termasuk) sebagai bagian dari pembuktian
(baiyyinat) yang syar'ie, meskipun indikasi itu bersifat qatie (pasti).
Sebab, tidak ada satu dalil/nash pun yang menunjukkan bahawa indikasi
(qarinah) merupakan baiyyinah yang syar'ie.
Jadi selama Jessica tidak
mengakui, dan tidak ada kesaksian yang memadai serta juga sumpah dan
dokumen tertulis maka tidak boleh menuduh atau mendakwa seseorang
sebagai peracun kopi Mirna. Untuk mengatakan/memasukkan sesuatu itu
sebagai baiyyinat (bukti), maka ia hendaklah berdasarkan dalil, bukannya
berdasarkan akal, apalagi jika semata mengandalkan metoda saintifik.
Pengakuan (al-iqrar) telah
ditetapkan sebagai salah satu metode pembuktian berdasarkan nash yg
jelas, yang tercantum di dalam Al-Quran dan juga Hadis. Rasulullah SAW
ketika bertanya tentang seorang jariyah (hamba perempuan) yang terbunuh,
siapakah yang telah membunuhnya, kemudian disebut nama si fulan dan si
fulan, yang mengisyaratkan kepada nama seorang Yahudi, baginda tidak
menetapkan ucapan itu sebagai "bukti" (baiyyinah) meskipun baginda tetap
melakukan penyelidikan terhadap lelaki Yahudi tersebut berdasarkan apa
yang didengarnya tadi.
Selanjutnya, lelaki Yahudi itu
dipanggil dan dia mengakuinya, maka Yahudi itu pun dibunuh (qisas).
Demikianlah Rasul Saw tetap menjadikan "pengakuan" sang Yahudi sebagai
pembuktian yang sah sementara informasi dan penyelidikan hanyalah
berposisi sebagai "indikasi" (qarinah)yang harus diselidiki terlebih
dahulu, dan tetap tidak boleh dijadikan sebagai bukti.
Upaya inilah yang di masa
sekarang disebut dengan cross examination (uji silang), yaitu mengajukan
bermacam-macam pertanyaan kepada tertuduh, oleh beberapa pemeriksa
sekaligus jika diperlukan, sehingga tertuduh akan mengaku secara
sukarela, karena tak bisa mengelak lagi mengingat setiap jawaban akan
selalu diuji silang dengan jawaban lain sehingga kalau berbohong akan
jelas sekali kontradiksi dan inkonsistensinya. (M. Abdullah al-Masari,
Huquq al-Muttaham fi Al-Islam, hal. 18)
Demikianlah meski bukan
termasuk metode pembuktian dalam Islam, pendekatan saintifik (seperti
hasil laboratorium forensik) boleh dimanfaatkan sebagai upaya memperoleh
pengakuan (al-iqrar) dari para tertuduh. Hal tersebut dibolehkan,
selama cara yang digunakan memperoleh pengakuan tidak dilakukan dengan
paksaan (al-ikrah), baik paksaan fisik (seperti pukulan) maupun non
fisik (seperti ancaman). Sebab syarat terpenting dari pengakuan adalah
ikhtiyar (tidak adanya paksaan). (M. Abdullah Al-Masari, Huquq
al-Muttaham fi Al-Islam, hal. 12).
Namun yang tidak boleh adalah
mengutamakan bukti-bukti saintifik untuk mendakwa seseorang, ini salah
dari sisi Islam dan merupakan suatu kezaliman. Ahkamul bayyinat
(hukum-hukum pembuktian) di dalam Islam telah jelas dan sempurna sejak
zaman Rasulullah dan tidak boleh diubah karena sains dan teknologi.
Ini bukan bermakna bahwa Islam
menolak sains tetapi sains lah yang musti digunakan bersesuian dengan
Islam. Walaupun terbukti bahawa sains banyak membantu dan amat
bermanfaat untuk manusia, tetapi sains hendaklah tunduk kepada Islam,
bukannya Islam yang tunduk kepada sains.
Dalam sains itu sendiri masih
mungkin terjadi kekeliruan dan ketidakpastian. Justru, menghukum
seseorangb berdasarkan sains, selain menyalahi hukum syarak, akan
menyebabkan kezaliman kepada si tertuduh. [syahid/voa-islam.com]
-
See more at:
http://www.voa-islam.com/read/citizens-jurnalism/2016/02/14/42262/bagaimana-pandangan-hukum-islam-dalam-menemukan-peracun-kopi-mirna/#sthash.zC4AEqTn.dpuBagaimana Pandangan Hukum Islam dalam Menemukan Peracun Kopi Mirna?
Oleh: Hafodhah silmi
(Aktovis Lembaga Dakwah Sekolah Kabupaten Magetan)
(Aktovis Lembaga Dakwah Sekolah Kabupaten Magetan)
Sahabat VOA-Islam...
Siapa sangka, minum kopi
bersama sahabat berakhir petaka. Baru menyesap satu sedotan es kopi
Vietnamese di kafe, Mirna merintih kesakitan. Ia mual dan kejang. Tak
lama kemudian, Mirna meninggal. Uji forensik sementara menduga ia
keracunan sianida.
Polisi masih bekerja keras
mengumpulkan alat bukti demi menemukan tersangka peracun maut kopi
Mirna. Direktur Reskrimum Polda Metro Jaya - Kombes Krishna Murti
menandaskan pentingnya investigasi ilmiah (scientific crime
investigation) dalam mengumpulkan alat bukti dan menemukan tersangka.
Islam memiliki pandangan
berbeda secara metodologis dalam hukum-hukum pembuktian, tidak
mendewakan metode saintifik dalam mendakwa / menuduh seseorang.
Hukum-hukum pembuktian (ahkam al-bayyinaat) menurut Islam adalah sama
seperti halnya hukum-hukum Islam yang lain, di mana ia merupakan
hukum-hukum syara' yang digali dari dalil-dalil yang bersifat
tafshiliyyah (terperinci).
Syeikh Ahmad ad-Daur
mendefinisikan bukti (al-baiyyinat) sebagai semua hal atau perkara yang
dapat membuktikan sesuatu dakwaan. Bukti juga merupakan hujah bagi orang
yang mendakwa atas dakwaannya. Islam menjelaskan bahawa al-baiyyinat
(bukti) itu terdiri dari 4 jenis yaitu:
(i) Pengakuan
(ii) Sumpah
(iii) Kesaksian
(iv) Dokumen-dokumen bertulis yang meyakinkan.
(ii) Sumpah
(iii) Kesaksian
(iv) Dokumen-dokumen bertulis yang meyakinkan.
Kesemua jenis baiyyinat
(bukti) yang telah disebutkan di atas adalah digali dari Al-Quran dan
juga As-Sunnah. Sedangkan indikasi (qarinah) yang bersumber dari sains
tidak dianggap (tidak termasuk) sebagai bagian dari pembuktian
(baiyyinat) yang syar'ie, meskipun indikasi itu bersifat qatie (pasti).
Sebab, tidak ada satu dalil/nash pun yang menunjukkan bahawa indikasi
(qarinah) merupakan baiyyinah yang syar'ie.
Jadi selama Jessica tidak
mengakui, dan tidak ada kesaksian yang memadai serta juga sumpah dan
dokumen tertulis maka tidak boleh menuduh atau mendakwa seseorang
sebagai peracun kopi Mirna. Untuk mengatakan/memasukkan sesuatu itu
sebagai baiyyinat (bukti), maka ia hendaklah berdasarkan dalil, bukannya
berdasarkan akal, apalagi jika semata mengandalkan metoda saintifik.
Pengakuan (al-iqrar) telah
ditetapkan sebagai salah satu metode pembuktian berdasarkan nash yg
jelas, yang tercantum di dalam Al-Quran dan juga Hadis. Rasulullah SAW
ketika bertanya tentang seorang jariyah (hamba perempuan) yang terbunuh,
siapakah yang telah membunuhnya, kemudian disebut nama si fulan dan si
fulan, yang mengisyaratkan kepada nama seorang Yahudi, baginda tidak
menetapkan ucapan itu sebagai "bukti" (baiyyinah) meskipun baginda tetap
melakukan penyelidikan terhadap lelaki Yahudi tersebut berdasarkan apa
yang didengarnya tadi.
Selanjutnya, lelaki Yahudi itu
dipanggil dan dia mengakuinya, maka Yahudi itu pun dibunuh (qisas).
Demikianlah Rasul Saw tetap menjadikan "pengakuan" sang Yahudi sebagai
pembuktian yang sah sementara informasi dan penyelidikan hanyalah
berposisi sebagai "indikasi" (qarinah)yang harus diselidiki terlebih
dahulu, dan tetap tidak boleh dijadikan sebagai bukti.
Upaya inilah yang di masa
sekarang disebut dengan cross examination (uji silang), yaitu mengajukan
bermacam-macam pertanyaan kepada tertuduh, oleh beberapa pemeriksa
sekaligus jika diperlukan, sehingga tertuduh akan mengaku secara
sukarela, karena tak bisa mengelak lagi mengingat setiap jawaban akan
selalu diuji silang dengan jawaban lain sehingga kalau berbohong akan
jelas sekali kontradiksi dan inkonsistensinya. (M. Abdullah al-Masari,
Huquq al-Muttaham fi Al-Islam, hal. 18)
Demikianlah meski bukan
termasuk metode pembuktian dalam Islam, pendekatan saintifik (seperti
hasil laboratorium forensik) boleh dimanfaatkan sebagai upaya memperoleh
pengakuan (al-iqrar) dari para tertuduh. Hal tersebut dibolehkan,
selama cara yang digunakan memperoleh pengakuan tidak dilakukan dengan
paksaan (al-ikrah), baik paksaan fisik (seperti pukulan) maupun non
fisik (seperti ancaman). Sebab syarat terpenting dari pengakuan adalah
ikhtiyar (tidak adanya paksaan). (M. Abdullah Al-Masari, Huquq
al-Muttaham fi Al-Islam, hal. 12).
Namun yang tidak boleh adalah
mengutamakan bukti-bukti saintifik untuk mendakwa seseorang, ini salah
dari sisi Islam dan merupakan suatu kezaliman. Ahkamul bayyinat
(hukum-hukum pembuktian) di dalam Islam telah jelas dan sempurna sejak
zaman Rasulullah dan tidak boleh diubah karena sains dan teknologi.
Ini bukan bermakna bahwa Islam
menolak sains tetapi sains lah yang musti digunakan bersesuian dengan
Islam. Walaupun terbukti bahawa sains banyak membantu dan amat
bermanfaat untuk manusia, tetapi sains hendaklah tunduk kepada Islam,
bukannya Islam yang tunduk kepada sains.
Dalam sains itu sendiri masih
mungkin terjadi kekeliruan dan ketidakpastian. Justru, menghukum
seseorangb berdasarkan sains, selain menyalahi hukum syarak, akan
menyebabkan kezaliman kepada si tertuduh. [syahid/voa-islam.com]
-
See more at:
http://www.voa-islam.com/read/citizens-jurnalism/2016/02/14/42262/bagaimana-pandangan-hukum-islam-dalam-menemukan-peracun-kopi-mirna/#sthash.zC4AEqT Bagaimana Pandangan Hukum Islam dalam Menemukan Peracun Kopi Mirna?
Oleh: Hafodhah silmi
(Aktovis Lembaga Dakwah Sekolah Kabupaten Magetan)
(Aktovis Lembaga Dakwah Sekolah Kabupaten Magetan)
Sahabat VOA-Islam...
Siapa sangka, minum kopi
bersama sahabat berakhir petaka. Baru menyesap satu sedotan es kopi
Vietnamese di kafe, Mirna merintih kesakitan. Ia mual dan kejang. Tak
lama kemudian, Mirna meninggal. Uji forensik sementara menduga ia
keracunan sianida.
Polisi masih bekerja keras
mengumpulkan alat bukti demi menemukan tersangka peracun maut kopi
Mirna. Direktur Reskrimum Polda Metro Jaya - Kombes Krishna Murti
menandaskan pentingnya investigasi ilmiah (scientific crime
investigation) dalam mengumpulkan alat bukti dan menemukan tersangka.
Islam memiliki pandangan
berbeda secara metodologis dalam hukum-hukum pembuktian, tidak
mendewakan metode saintifik dalam mendakwa / menuduh seseorang.
Hukum-hukum pembuktian (ahkam al-bayyinaat) menurut Islam adalah sama
seperti halnya hukum-hukum Islam yang lain, di mana ia merupakan
hukum-hukum syara' yang digali dari dalil-dalil yang bersifat
tafshiliyyah (terperinci).
Syeikh Ahmad ad-Daur
mendefinisikan bukti (al-baiyyinat) sebagai semua hal atau perkara yang
dapat membuktikan sesuatu dakwaan. Bukti juga merupakan hujah bagi orang
yang mendakwa atas dakwaannya. Islam menjelaskan bahawa al-baiyyinat
(bukti) itu terdiri dari 4 jenis yaitu:
(i) Pengakuan
(ii) Sumpah
(iii) Kesaksian
(iv) Dokumen-dokumen bertulis yang meyakinkan.
(ii) Sumpah
(iii) Kesaksian
(iv) Dokumen-dokumen bertulis yang meyakinkan.
Kesemua jenis baiyyinat
(bukti) yang telah disebutkan di atas adalah digali dari Al-Quran dan
juga As-Sunnah. Sedangkan indikasi (qarinah) yang bersumber dari sains
tidak dianggap (tidak termasuk) sebagai bagian dari pembuktian
(baiyyinat) yang syar'ie, meskipun indikasi itu bersifat qatie (pasti).
Sebab, tidak ada satu dalil/nash pun yang menunjukkan bahawa indikasi
(qarinah) merupakan baiyyinah yang syar'ie.
Jadi selama Jessica tidak
mengakui, dan tidak ada kesaksian yang memadai serta juga sumpah dan
dokumen tertulis maka tidak boleh menuduh atau mendakwa seseorang
sebagai peracun kopi Mirna. Untuk mengatakan/memasukkan sesuatu itu
sebagai baiyyinat (bukti), maka ia hendaklah berdasarkan dalil, bukannya
berdasarkan akal, apalagi jika semata mengandalkan metoda saintifik.
Pengakuan (al-iqrar) telah
ditetapkan sebagai salah satu metode pembuktian berdasarkan nash yg
jelas, yang tercantum di dalam Al-Quran dan juga Hadis. Rasulullah SAW
ketika bertanya tentang seorang jariyah (hamba perempuan) yang terbunuh,
siapakah yang telah membunuhnya, kemudian disebut nama si fulan dan si
fulan, yang mengisyaratkan kepada nama seorang Yahudi, baginda tidak
menetapkan ucapan itu sebagai "bukti" (baiyyinah) meskipun baginda tetap
melakukan penyelidikan terhadap lelaki Yahudi tersebut berdasarkan apa
yang didengarnya tadi.
Selanjutnya, lelaki Yahudi itu
dipanggil dan dia mengakuinya, maka Yahudi itu pun dibunuh (qisas).
Demikianlah Rasul Saw tetap menjadikan "pengakuan" sang Yahudi sebagai
pembuktian yang sah sementara informasi dan penyelidikan hanyalah
berposisi sebagai "indikasi" (qarinah)yang harus diselidiki terlebih
dahulu, dan tetap tidak boleh dijadikan sebagai bukti.
Upaya inilah yang di masa
sekarang disebut dengan cross examination (uji silang), yaitu mengajukan
bermacam-macam pertanyaan kepada tertuduh, oleh beberapa pemeriksa
sekaligus jika diperlukan, sehingga tertuduh akan mengaku secara
sukarela, karena tak bisa mengelak lagi mengingat setiap jawaban akan
selalu diuji silang dengan jawaban lain sehingga kalau berbohong akan
jelas sekali kontradiksi dan inkonsistensinya. (M. Abdullah al-Masari,
Huquq al-Muttaham fi Al-Islam, hal. 18)
Demikianlah meski bukan
termasuk metode pembuktian dalam Islam, pendekatan saintifik (seperti
hasil laboratorium forensik) boleh dimanfaatkan sebagai upaya memperoleh
pengakuan (al-iqrar) dari para tertuduh. Hal tersebut dibolehkan,
selama cara yang digunakan memperoleh pengakuan tidak dilakukan dengan
paksaan (al-ikrah), baik paksaan fisik (seperti pukulan) maupun non
fisik (seperti ancaman). Sebab syarat terpenting dari pengakuan adalah
ikhtiyar (tidak adanya paksaan). (M. Abdullah Al-Masari, Huquq
al-Muttaham fi Al-Islam, hal. 12).
Namun yang tidak boleh adalah
mengutamakan bukti-bukti saintifik untuk mendakwa seseorang, ini salah
dari sisi Islam dan merupakan suatu kezaliman. Ahkamul bayyinat
(hukum-hukum pembuktian) di dalam Islam telah jelas dan sempurna sejak
zaman Rasulullah dan tidak boleh diubah karena sains dan teknologi.
Ini bukan bermakna bahwa Islam
menolak sains tetapi sains lah yang musti digunakan bersesuian dengan
Islam. Walaupun terbukti bahawa sains banyak membantu dan amat
bermanfaat untuk manusia, tetapi sains hendaklah tunduk kepada Islam,
bukannya Islam yang tunduk kepada sains.
Dalam sains itu sendiri masih
mungkin terjadi kekeliruan dan ketidakpastian. Justru, menghukum
seseorangb berdasarkan sains, selain menyalahi hukum syarak, akan
menyebabkan kezaliman kepada si tertuduh. [syahid/voa-islam.com]
-
See more at:
http://www.voa-islam.com/read/citizens-jurnalism/2016/02/14/42262/bagaimana-pandangan-hukum-islam-dalam-menemukan-peracun-kopi-mirna/#sthash.zC4AEqTn.dpuf-
METRO | Rabu, 10 Agustus 2016 15:41
Rentang Waktu yang Diduga Sianida Masuk ke Kopi Mirna
"Pada pukul 16.28.20 Jessica mengambil dudukan menu itu." -
NEW_TVONE | Rabu, 10 Agustus 2016 15:04
Tingkah Laku Janggal Jessica Versi Ahli Digital
-
METRO | Rabu, 10 Agustus 2016 13:49
Jessica Sering Menoleh ke Meja 54 Sebelum Mirna Tewas
Jessica bahkan menengok lebih tajam ke arah belakang. -
METRO | Rabu, 27 Juli 2016 16:53
Misteri Gelas Kopi Vietnam Olivier Mirna yang Pindah Tempat
Menurut saksi, gelas tersebut sudah bergeser dari posisi awal. -
METRO | Rabu, 20 Juli 2016 15:17
Saksi Sidang Jessica Lemah, Hakim Minta JPU Cari Saksi Baru
Saksi yang sudah dihadirkan tidak bisa menguak siapa pembunuh Mirna. -
METRO | Rabu, 20 Juli 2016 14:24
Saksi Ungkap Teka-teki Sedotan di Gelas Kopi Vietnam Mirna
Saksi menyampaikan soal standar penyajian Es Kopi Vietnam. -
METRO | Rabu, 20 Juli 2016 10:28
Sidang Lanjutan Jessica, Tiga Karyawan Olivier Jadi Saksi
Sidang akan putar rekaman cctv Kafe Olivier. -
METRO | Selasa, 19 Juli 2016 13:36
Pengacara Jessica Tantang Jaksa Buka Semua Rekaman Olivier
Belum ada gambar yang menunjukan Jessica masukkan sianida. -
NEW_TVONE | Kamis, 14 Juli 2016 14:46
Menyingkap Rekaman CCTV di Kafe Olivier (Bagian 1)
-
NEW_TVONE | Kamis, 14 Juli 2016 14:45
Menyingkap Rekaman CCTV di Kafe Olivier (Bagian 2)
-
NEW_TVONE | Kamis, 14 Juli 2016 14:45
Menyingkap Rekaman CCTV di Kafe Olivier (Bagian 3)
-
NEW_TVONE | Kamis, 14 Juli 2016 14:45
Menyingkap Rekaman CCTV di Kafe Olivier (Bagian 4)
-
METRO | Rabu, 13 Juli 2016 22:43
Pengacara: Saksi Belum Bisa Buktikan Jessica Racuni Mirna
Saksi tidak bisa ungkap motif bila memang Jessica pelakunya. -
METRO | Rabu, 13 Juli 2016 21:32
Kronologi Pertemuan Jessica, Mirna, dan Hani Versi CCTV
Wayan Mirna Solihin tewas setelah minum kopi saat pertemuan itu. -
METRO | Rabu, 13 Juli 2016 20:55
Saksi Pertanyakan Dalih Jessica Tak Mau Lihat Jasad Mirna
Kepada Hani, Jessica mengaku dirawat di rumah sakit ketika itu. -
NEW_TVONE | Rabu, 13 Juli 2016 17:05
Rekaman CCTV Mirna Minum Kopi Hingga Terkapar di Olivier
-
METRO | Rabu, 13 Juli 2016 16:06
Jessica Terekam Garuk Tangan Saat Mirna Terkapar di Olivier
Pengunjung menduga tangan Jessica gatal kena sianida. -
METRO | Rabu, 13 Juli 2016 13:44
CCTV Kafe Olivier Diputar, Kembaran Mirna Menangis
Jaksa menanyakan apakah tempat duduk untuk Mirna sudah diatur. -
METRO | Rabu, 13 Juli 2016 09:55
Pengacara Jessica Juga Penasaran Rekaman CCTV Kafe Olivier
Tidak ada komentar:
Posting Komentar