Jumat, 16 September 2016

Presiden Jokowi lagi-lagi tampik helikopter kepresidenan baru

Joko Widodo (tengah) didampingi Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo (kanan) dan KSAL Laksamana TNI Ade Supandi menyaksikan Latihan Armada Jaya XXXIV/2016 dari Menara Pantau Pantai Banongan, Asembagus, Situbondo, Jawa Timur, Kamis (15/9).
Joko Widodo (tengah) didampingi Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo (kanan) dan KSAL Laksamana TNI Ade Supandi menyaksikan Latihan Armada Jaya XXXIV/2016 dari Menara Pantau Pantai Banongan, Asembagus, Situbondo, Jawa Timur, Kamis (15/9).
© M. Risyal Hidayat /Antara Foto
Polemik mengenai perlu atau tidaknya helikopter kepresidenan agaknya kini teredam. Presiden Joko Widodo kemarin (15/9) menyatakan pembelian unit angkutan untuk orang dengan perlakuan khusus (VVIP) produksi perusahaan kongsi Inggris dan Italia, AgustaWestland, bukan prioritas.
Helikopter berharga lebih dari Rp752 miliar itu rencananya akan menggantikan kerja Super Puma yang usia pakainya kini telah mencapai 25 tahun.
Dalam hemat Presiden Jokowi, pengabulan proposal pengadaan helikopter berjenis AW101 akan menihilkan semangat penghematan anggaran yang baru saja diberlakukan.
"Ini kan ada prioritas dan pemotongan anggaran seperti yang sudah saya keluarkan lewat (instruksi presiden), agar untuk hal-hal yang tidak perlu yang anggarannya yang tidak memberikan efek kepada apapun," ujarnya seperti dikutip CNN Indonesia.
Ia menyebutkan beberapa misal pos anggaran yang layak untuk dipangkas, di antaranya biaya perjalanan dinas, rapat-rapat, konsinyering, dan pengadaan barang-barang yang belum diperlukan.
"Barang-barang yang belum perlu, seperti tadi apa... helikopter AgustaWestland, saya kira sama. Kita lihat kegunaannya apakah sangat mendesak dan itu masih dalam kajian di KKIP dan juga masih dikalkulasi oleh Panglima TNI," kata Jokowi dilansir Kompas.com.
KKIP dalam pernyataan Jokowi merujuk kepada Komite Kebijakan Industri Pertahanan yang terbentuk pada 2013.
Usulan pembelian AW101 dilontarkan oleh Kepala Staf TNI Angkatan Udara, Marsekal Agus Supriatna pada akhir tahun lalu, dan telah termuat dalam rencana strategis TNI Angkatan Udara periode 2015-2019.
Menurut sang pengusul, helikopter dimaksud tidak saja dapat digunakan oleh Presiden dan Wakil Presiden, tapi pun pejabat tinggi dan tamu negara setingkat presiden.
Sandaran Marsekal Agus untuk mengajukan helikopter baru adalah keterandalan dalam urusan keamanan dan kenyamanan penumpang. "Kalau tidak safety, dan nanti terjadi apa-apa, maka saya yang bertanggung jawab. Oleh karena itu, saya minta agar helikopternya safety," ujarnya seperti tertulis pada laman Sekretariat Kabinet, 25 November 2015.
Saat proposal itu diajukan tahun lalu, Jokowi pun sesungguhnya sudah menolak. Lewat Sekretaris Kabinet, Pramono Anung, Jokowi mengatakan helikopter yang ada masih bisa digunakan untuk mendukung tugas-tugas kenegaraan.
Turut berkomentar ihwal AW101 adalah pakar penerbangan Gerry Soejatman, yang menyatakan helikopter usulan TNI AU "bagus, cuma mungkin terlalu bagus. Membeli helikopter VVIP ini ibarat memilih mobil pejabat, mau Mercy atau Rolls-Royce? Dua-duanya bagus, tapi salah satu terlalu bagus," katanya kepada CNN Indonesia, Rabu (25/11/2015).
"Super Puma dipakai 32 kepala negara," lanjut Gerry, "sedangkan AW101 cuma dipakai empat negara. Dari situ kita bisa menilai sendiri.''
AgustaWestland AW101 barang baru bagi Indonesia. Selama ini, kebanyakan helikopter yang menghiasai angkasa Indonesia diturunkan oleh Airbus Helicopters atau Bell Textron lewat garapan PT Dirgantara Indonesia (DI). Meski sama-sama berada di kelas medium, tapi AW101 punya spesifikasi yang lebih besar dari keluarga Super Puma.
Produsen AW101 sendiri membagi penawaran ke dalam sejumlah rancangan, yakni head of government state transport, Combat SAR, SAR (Search and Rescue), dan utility. Dalam konteks VVIP, demikian laman IndoMiliter.com, acuannya head of government state transport.
TNI sudah merencanakan pembelian helikopter VVIP sebelum Jokowi dilantik sebagai Presiden RI pada Oktober 2014. TNI menargetkan memiliki enam helikopter VVIP yang pengadaannya dilakukan bertahap sesuai kemampuan anggaran pemerintah RI.

Pemerintah kaji penawaran Freeport

Truk pengangkut bahan tambang di pertambangan emas dan tembaga PT Freeport Indonesia, Papua
Truk pengangkut bahan tambang di pertambangan emas dan tembaga PT Freeport Indonesia, Papua
© Rully Kesuma /TEMPO
PT Freeport Indonesia akhirnya menawarkan saham ke pemerintah sebesar 10,64 persen dengan nilai USD1,7 miliar atau sekitar Rp23,6 triliun. Penawaran tersebut datang dalam bentuk surat yang dilayangkan Freeport kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya (ESDM).
Setelah penawaran ini dilakukan, pemerintah selanjutnya akan melakukan evaluasi tawaran dari tambang milik Amerika Serikat itu.
"Sesudah menyampaikan tawarannya tentunya menjadi tugas pemerintah memberikan evaluasi terhadap valuasi yang disampaikan Freeport," kata Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Bambang Gatot, dalam Liputan6.com, Kamis (14/1/2016).
Gatot mengatakan, valuasi saham dari sisi pemerintah nanti akan dilakukan oleh penilai independen yang melibatkan tim dari lintas kementerian. Namun hingga saat ini, Kementerian ESDM masih belum memiliki daftar calon penilai independen yang akan digunakan.
"Memang kalau dari sisi pemerintah bisa kok pakai independent valuer, kan di PP Nomor 77 sudah dibilang bisa pakai pihak eksternal. Kami tidak mau berlama-lama melakukan valuasi, tapi kami tidak ada tenggat waktu tersendiri. Pokoknya secepat mungkin," tambahnya.
Untuk diketahui, kewajiban divestasi Freeport mengacu ke Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2014, dalam beleid tersebut mengatur tiga kategori divestasi perusahaan tambang asing. Jika perusahaan tambang asing hanya melakukan kegiatan pertambangan maka divestasi sebesar 51 persen.
Jika perusahaan tambang melakukan kegiatan pertambangan dan terintegrasi dengan pengolahan dan pemurnian maka divestasi sebesar 40 persen dan jika perusahaan tambang asing melakukan kegiatan tambang bawah tanah (underground) maka divestasi 30 persen.
Untuk Divestasi Freeport dilakukan bertahap, Pemerintah telah memiliki 9,36 persen, saat ini Freeport wajib melepas 10,64 persen saham dan di 2019 sebesar 10 persen saham.
Konsorsium Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang telah bersiap mengakuisisi saham perusahaan tambang Amerika tersebut tidak serta merta bisa langsung membelinya. Setelah valuasi versi pemerintah selesai dilakukan, prosedurnya adalah pemerintah pusat terlebih dulu yang memiliki hak untuk membeli.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara yang dihubungi beritasatu.com mengatakan, pemerintah tidak perlu proaktif terkait divestasi Freeport. Pasalnya, divestasi menjadi satu paket dengan masalah perpanjangan operasi Freeport Indonesia pasca 2021.
"Selain itu, Freeport-McMoRan Inc sebagai induk usaha Freeport Indonesia di ambang kebangkrutan, jika merujuk harga saham FCX mencapai titik terendah yakni sebesar USD4,31 per lembar. Padahal, pada kurun waktu 2010-2011 saham FCX pernah mencapai USD60 per lembar. Jadi, perpanjangan operasi Freeport berarti pemerintah menolong dan memperpanjang nafas Freeport-McMoRan," ujarnya.
Marwan menuturkan, pemerintah sebaiknya menyiapkan rencana strategis guna mengambil alih pengelolaan tambang di Timika tersebut. Selain itu, pemerintah perlu mempersiapkan BUMN khusus tambang yang akan menggarap tambang eks Freeport.
Pembentukan BUMN ini tentunya melibatkan pertimbangan kementerian/lembaga yang berwenang, para pakar dan profesional dari berbagai bidang yang relevan, dan seluruh pihak lain yang terkait.
Indonesia sekarang berbeda dengan tahun 1967 ketika Freeport pertama kali beroperasi di Indonesia. Sumber daya manusia Indonesia sekarang lebih mumpuni dan siap mengelola tambang eks Freeport.
"Sekali lagi, skema pengambilalihan Blok Mahakam di Kalimantan Timur bisa diterapkan untuk Freeport. Kita bisa mengelola tambang Freeport. Jangan merendahkan kemampuan anak bangsa," tandasnya.

BACA JUGA

Asal usul perdebatan Blok Masela

Foto ilustrasi kilang gas terapung/offshore
Foto ilustrasi kilang gas terapung/offshore
/EPA
Perdebatan pembangunan fasilitas regasifikasi gas alam cair (LNG) di Blok Masela, Maluku, bukanlah hal baru. Meski, kali ini diramaikan oleh dua orang menteri di Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli mendukung pembangunan fasilitas pengolahan di darat, sementara Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said bersama SKK Migas menginginkan pembangunan dilakukan di lepas pantai sesuai rencana pengembangan yang dibuat oleh Inpex Corporation.
Untuk diketahui, keberadaan blok migas tersebut telah ditemukan sejak tahun 2000. Namun, pengembangan ladang gas tersebut terkendala beberapa hal, salah satunya soal pola pengembangan kilang apakah akan di bangun di darat (onshore) atau di laut (offshore).
Perdebatan sengit pun terjadi di sekitar tahun 2008-2010.
Mantan Deputi Perencanaan Satuan Kerja Khusus Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas) Aussie Gautama menceritakan dalam Okezone.com, saat itu Inpex Corporation selaku operator Blok Masela mengusulkan pengembangan kilang dilakukan dengan sistem LNG terapung/floating/offshore dengan kapasitas 4 miliar ton per tahun.
Sayangnya, pemerintah tak kunjung mengambil keputusan dan akhirnya memilih untuk melakukan studi dengan melibatkan pihak ketiga, yakni UI, ITB, ITS, gamma dan juga konsultan dari luar.
Rekomendasi dari studi tersebut pun tetap membangun kilang floating LNG. Akhirnya, pemerintah pun memutuskan untuk membangun kilang terapung namun dengan kapasitas hanya 2,5 m ton per annum. Keputusan tersebut diambil sekitar tahun 2010.
Beberapa tahun kemudian, seperti yang ditulis Liputan6.com, Inpex kembali menyampaikan hasil observasinya yang menemukan akumulasi cadangan gas di ladang gas tersebut jauh lebih besar dari evaluasi yang dilakukannya pada 2009.
Dengan hasil observasi tersebut, keberadaan kilang terapung dengan kapasitas 2,5 miliar ton per annum dinilai tidak optimal dalam rangka pengelolaan blok tersebut ke depannya.
"Mereka usulkan membuat kilang terapung 7,5 miliar ton per annum. Besar dan belum ada di dunia. Kapalnya sudah dibuat yang akan selesai 2018," ungkap Aussie.
Namun saat ini usulan Inpex untuk membangun kilang dengan kapasitas sebesar itu menimbulkan polemik antara pemerintah dengan SKK Migas terkait pembangunan kilang apakah dengan skema onshore atau offshore.
"Kementerian ESDM akhirnya buat lagi studi dengan pihak ketiga. Hasilnya kembali floating LNG yang dipilih. Jadi memang berkali-kali konsep pengembangan ini sudah diuji berbagai pihak dan selalu kembali ke floating LNG," tandas Aussie.
Sebelumnya Rizal Ramli menyebut nilai investasi untuk Floating LNG (FLNG) sekitar USD19,3 miliar sementara untuk Land Based LNG hanya menghabiskan investasi USD14,8 miliar. Sementara itu SKK Migas mengatakan pembangunan fasilitas pengolahan darat justru membutuhkan biaya yang lebih besar dibandingkan di laut.
"Ini haru dianalisis dengan baik karena menurut saya FLNG harganya bukan USD14,8 miliar tapi dananya bisa lebih besar. Kalau onshore ditaruh pipa 600 kilometer juga dananya bengkak jadi USD21 miliar," ucapnya.
Pertamina siap terlibat
Di sisi lain, PT Pertamina (Persero) telah menyatakan kesiapannya untuk ikut masuk dalam pengelolaan Blok Masela, Maluku dengan Participating Interestmaksimal 25 persen.
Direktur Utama Pertamina, Dwi Soetjipto mengatakan pihaknya sudah beberapa kali menyampaikan permohonan kepada pemerintah agar ikut mengelola Blok yang tercatat memiliki kandungan gas terbukti mencapai 10,7 triliun kubik (TCF) itu.
Menurut Dwi, permohonan tersebut juga belum mendapatkan respon dari pengelola Blok Masela yakni Inpex Masela selaku pemilik PI sebesar 65 persen dan Shell Indonesai senilai 35 persen.
"Sejauh ini kami juga belum mendapat respon dari Inpex dan Shell selaku existing operator. Jadi target kami sejauh ini ya di angka itu sesuai dengan kemampuan finansial kami," kata Dwi dalam Kontan.co.

BACA JUGA

Pemerintah klaim temukan cadangan eksplorasi migas 21,8 miliar barel

Pekerja di sumur minyak Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) PetroChina di kawasan Sele, Sorong, Papua, April 2008. Pada 2015, Pemerintah mengklaim menemukan cadangan eksplorasi 21,8 barel setara minyak.
Pekerja di sumur minyak Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) PetroChina di kawasan Sele, Sorong, Papua, April 2008. Pada 2015, Pemerintah mengklaim menemukan cadangan eksplorasi 21,8 barel setara minyak.
© Ayu Ambong / Tempo
Pemerintah mengklaim menemukan cadangan eksplorasi migas (minyak dan gas). Dalam paparan pencapaian kinerja pemerintah di akhir tahun, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said menyatakan menemukan cadangan eksplorasi migas sebesar 21,8 miliar barel setara minyak.
Ketua Komite Eksplorasi Nasional (KEN) Andang Bachtiar mengatakan dari cadangan tersebut, ada 5,2 miliar barel yang sudah terbukti (proven reserve). Cadangan yang sudah terbukti itu terdiri dari 2,7 miliar barel minyak dan 14 triliun kaki kubik gas. Cadangan ini berasal dari 108 struktur sumur yang sudah dibor dan sudah diuji memiliki kandungan migas. Akan tetapi belum ditingkatkan statusnya menjadi cadangan nasional.
Sedangkan sisanya 16,6 miliar barel berasal dari 120 struktur sumur yang jadi target eksplorasi dari kontraktor kontrak kerja sama (KKKS). Sumur ini sudah dibor tapi belum sempurna dan masih butuh pengeboran lebih lanjut. Namun tahun lalu, para kontraktor tidak menganggap sumur-sumur ini sebagai prioritas untuk dieksplorasi. "Semoga tahun 2016 sumur migas tersebut sudah masuk rencana pengembangan KKKS dan menjadi cadangan nasional," ujar Andang seperti dikutip dari KataData.co.id.
Dengan tambahan ini setidaknya bisa memperbaiki cadangan migas nasional yang selama ini tergerus. Data Kementerian ESDM menyebut, tahun lalu cadangan minyak Indonesia turun 0,95 persen menjadi hanya 7,30 miliar barel. Sementara cadangan gas naik 1,36 persen menjadi 151,33 triliun kaki kubik.
Klaim temuan ini selaras dengan pembentukan Komite Eksplorasi Nasional (KEN). Saat pembentukannya, pada Mei 2015 lalu, Menteri Sudirman menargetkan setidaknya dalam waktu lima tahun, cadangan minyak dan gas Indonesia akan bertambah. "Komite ini akan mendorong eksplorasi besar-besaran karena kita sadar cadangan kita terus menipis," ujar Sudirman, Mei lalu seperti dikutip dari Antaranews.com.
Aspek yang dikaji KEN mulai dari eksplorasinya di lapangan, koordinasi antar pusat dan daerah, dan sampai hal teknis termasuk bagaimana memperbaiki iklim investasi supaya semakin banyak eksplorasi.
Indonesia pernah punya cadangan terbukti minyak bumi sampai 27 miliar barel. Tapi sudah diproduksi 22,9 miliar barel. "Sisanya tinggal 3,7 miliar barel," ujar Kepala Bagian Humas Satuan Kerja Khusus Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), Elan Biantoro, September lalu, seperti dikutip Detik Finance.
Dengan cadangan terbukti 3,7 miliar barel, produksi minyak Indonesia hanya akan bertahan selama kurang lebih 10-11 tahun, karena setiap tahun, jumlah minyak yang diproduksi adalah 360 juta barel. Dengan tambahan cadangan terbukti ini, secara kasar, maka produksi minyak Indonesia masih bisa bertahan selama kurang lebih 25 tahun.

BACA JUGA

Meracik dana abadi migas ala Kabupaten Bojonegoro

Pegawai memeriksa pompa angguk di Distrik II Nglopo Pertamina EP (Eksplorasi dan Produksi), Blok Cepu
Pegawai memeriksa pompa angguk di Distrik II Nglopo Pertamina EP (Eksplorasi dan Produksi), Blok Cepu
© Dinul Mubarok /TEMPO
Tak ingin kekayaan minyak dan gasnya habis sia-sia, Bojonegoro, salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Timur ini menggagas dana abadi. Sebanyak Rp100 miliar yang diambil dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) sudah dialokasikan dalam dana abadi ini.
Dana abadi itu hanya boleh digunakkan untuk dua hal: menyokong pendidikan generasi mudanya dan menutup defisit anggaran daerah saat harga minyak sedang anjlok.
Ide dana abadi ini digagas oleh Bupati Bojonegoro, Suyoto, karena pengalaman yang pernah terjadi di daerah yang kaya akan produksi minyak dan gasnya ini.
Dulu, Bojonegoro pernah menjadi daerah kaya migas, namun uangnya dihabiskan untuk hal-hal yang konsumtif dan tidak berkelanjutan. Akhirnya Bojonegoro menjadi daerah miskin ketika harga migas anjlok dan habis.
Tetapi di kemudian hari ternyata ditemukan cadangan migas baru. Agar tak kembali jadi daerah miskin, maka dibuat tabungan dana abadi. Untuk diketahui, di Bojonegoro terdapat Blok Cepu, blok penghasil minyak terbesar di Indonesia.
"Ada istilah kutukan sumber daya alam. Kami ini pernah mengalami ada migas, nggak ada migas, dan sekarang momentum ada migas lagi. Kita belajar bagaimana tidak terjebak," kata Suyoto, dalam detikFinance, di Jakarta, Jumat (27/5/2016).
Dijelaskan Suyoto, dana abadi berasal dari jatah Dana Bagi Hasil (DBH) migas dan Participating Interest (Hak Partisipasi) sebesar 10 persen di Blo Cepu.
Daerah yang memiliki ladang minyak dan gas memperoleh pemasukan besar dari DBH migas. Begitu harga minyak mentah dunia merosot, pendapatan mereka pun terpangkas drastis.
Karena itu Satuan Kerja Khusus Minyak dan Gas (SKK Migas) sempat menilai DBH tidak efektif membangun daerah. Daerah migas seperti Bojonegoro mendapat DBH migas dan keuntungan dari PI 10 persen BUMD.
"Kalau itu dimasukan dalam APBD, kita harus punya kesepakatan politik bahwa duit ini tidak boleh dihabiskan, duit ini harus ditaruh di dana abadi," tegasnya.
Nantinya, dari dana yang dihimpun, hanya bunganya saja yang boleh digunakan, dan itu terbatas hanya untuk pendidikan saja.
"Pembentukan dana abadi ini bisa dipakai bunganya saja untuk pembangunan manusia secara berkelanjutan, dan kalau ada naik turun harga minyak bisa jadi penyelamat," tegasnya.
Untuk diketahui, penerimaan negara dari sektor hulu minyak dan gas bumi dipastikan turun hingga tahun depan. Hal itu disebabkan anjloknya harga minyak dunia dalam dua tahun terakhir.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Sudirman Said, mengatakan kondisi ini jauh berbeda dengan dua tahun sebelumnya saat harga minyak dunia menyentuh lebih dari USD100 per barel.
Namun, sambungnya dalam Koran Sindo, dengan harga minyak yang rata-rata saat ini telah turun sekitar 50 persen, penerimaan migas terus merosot dari Rp304 triliun pada 2014 menjadi hanya Rp173 triliun pada 2015.
Dalam hal ini, Suyoto juga membagikan lima tip agar rakyat daerah bisa merasakan langsung manfaat dari kekayaan migasnya, antara lain:
  1. Rakyat setempat harus ikut dilibatkan menjadi tenaga kerja di blok migas. Masyarakat sekitar tidak boleh hanya jadi penonton saja. Tanpa keterlibatan masyarakat lokal, blok migas pasti tidak mendapat dukungan dan bisa mendapat gangguan keamanan.
  2. Harus ada nilai tambah yang diciptakan di daerah. Hilirisasi itu misalnya pabrik petrokimia atau pabrik pupuk untuk mengolah gas bumi.
  3. Sebagian dari pendapatan dari migas harus disisihkan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia di daerah, supaya ada sumber pendapatan lain ketika daerah sudah tak punya migas.
  4. Pendapatan dari migas tidak boleh digunakan untuk pengeluaran-pengeluaran yang sifatnya konsumtif, foya-foya, bermewah-mewahan. Tapi harus dipakai untuk membangun infrastruktur yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi daerah secara berkelanjutan.
  5. Pendapatan migas harus ditabung untuk generasi mendatang, tidak dihabiskan sekaligus setiap tahun

BACA JUGA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar